Jumat, 21 September 2007

Hikayat tanah hitu

Sifar Ar-Rijal (Imam Rijali)hikayat tanah hitu

Sumber source: www.anu.edu.au

Sejarah adalah perkembangan penentuan ide diri,

perjalanan perkembangan diri dalam roh. karena roh

hakekatnya bebas,maka sejarah adalah perjalanan

kebebasan.(Hegel)



(potongan seperti dari sumber)Empunya tanah, karena ia dari mulanya

datang. Itulah kesudahan bangsya Ambon. Alkissah peri

mengatakan bangsya Jawa. Maka diceriterakan oleh yang

empunya ceritera tatkala raja Tuban dinaikan kerajaan, maka

tiada ia bersettia dan muafakat dengan kaum kulawarganya.

Maka suatu kaum dua bersyaudara, seorang kiyai Tuli namanya

dan seorang kiyai Dau namanya, dan seorang syaudaranya

perempuan, nyai Mas namanya, ia naik serta kelengkapannya

membawah dirinya mencari tempat kedudukannya. Hatta dengan

kehendak Tuhan Yang Mahatinggi dibawah oleh angin dan arus

datang ke tanah Hitu. Ia masuk dalam labuan Husekaak namanya.

Maka tiada melihat negeri dan tiada manusyia, lalu turun daripada

kelengkapannya, naik ke darat membuat negeri akan

kedudukannya.Hatta demikian itu keluar seekor anjing, maka

orang itu dikatakan: ‘Ada anjing, adalah lagi manusyia; jikalau

ada manusyia, ada juga negeri.’ Lalu ditangkap anjing itu,

digantungkan suatu bungkusan di atas leher anjing itu. Ada pun

dalam bungkusan itu serba sedikit daripada alamat negerinya.

Lalu dilepaskan anjing itu pulang ke negeri kepada tuannya. Maka

apalah* dilihat tuannya bungkusan itu, maka ia melihat alamat

serba sedikit itu. Maka ia berkata kepada orang sekalian: ‘Ada

juga manusyia di pantai itu.’ Maka ia mengambil buah-buahan

akan tanda alamat negerinya, lalu digantung kepada leher anjing

itu, dilepaskan pulang keluar ke pantai. Maka dilihat oleh orang

itu, maka kata orang itu: ‘Marilah kita pergi periksyai kepada

negeri itu’, lalu ia berjalan. Hatta ia datang ke tengah jalan, maka

bertemu seorang, lalu dipangil serta dengan dia berjalan menuju

kepada negeri dan orang dalam negeri itu pun keluar semuanya

berjalan ke pantai. Maka ia bertemu dengan penguluh

kelengkapan itu, maka kedua pihak berhadapan bertanyatanyakan

kehendaknya datang itu. Maka menyahut penguluh

kelengkapan itu, segala hal-ahwal semuanya diceriterakan

kepada orang itu. Lalu ia bertanya pula kepada orang negeri itu,

maka menyahut orang itu. Segala hal-ahwal mulanya datang itu

diceriterakan kepada penguluh kelengkapan itu. Tellah demikian

itu, maka kedua pihak bennarnya jual-beli, tukar-menukar

beramai-ramaian. Hatta datang malam orang itu pun pulang ke

negerinya. Apabila datang esok harinya, ia turun juga jual-beli,

tukar-menukar sebagailah. Maka suatupun tiada dalamnya

melainkan melakukan kesukaannya. Itulah kesudahan bangsya

Jawa. Alkissah peri mengatakan bangsya Jailolo dan diceriterakan

oleh yang empunya ceritera, demikian riwayatnya. Ada pun dalam

negeri Jailolo itu dua bangsya, seorang bangsya Jailolo dan

seorang bangsya Jawa, yakni anak raja keduanya. Maka dalam

keduanya itu, setengah mengatakan bangsya Jailolo akan

kerajaan dan setengah mengatakan pula bangsya Jawa akan

kerajaan, maka jadi fitna dalam negeri endak berkelai. Tellah

demikian itu, hatta datang kepada suatu ketika serta dengan

kehendak Allah ta`ala keluar bangsya Jawa serta dengan

kelengkapannya. Entah apa-apa kehendaknya gennap puluh dan

tanjung sehingga datang ke benua Bacang. Maka di belakangnya

itu dinaikan bangsya Jailolo akan kerajaan, lalu ia menyuruh

rusak negeri syaudaranya. Maka disampaikan khabar itu kepada

syaudaranya, demikian katanya: ‘Hai tuhanku, pattik minta maaf

ke bawah dulli yang dipetuhan. Tellah sudah paduka syaudara

enda dinaikan kerajaan dan negeri yang dipetuhan pun sudah

rusak.’ Tellah didengar warta demikian itu, maka ia tiada mau

pulang lagi, lalu ia berangkat mencari tempat akan

kedudukannya. Hatta berapa lamanya di tengah jalan serta

kehendak Tuhan Yang Mahatinggi datang ribut dan angin, maka

cerai-berai kelengkapannya itu, masing-masing membawah

aluannya. Ada datang ke tanah Buru, ada datang ke tanah Seran.

Ia dibawah oleh angin dan arus datang ke tanah Ambon. Maka

syaudaranya dan setengah raiyat turun duduk menjadi penghulu

kepada negeri Lisabata, kiyai pati namanya atau Ulima*

Sitaniya*. Maka ia berangkat sehingga datang ke tanjung Siyal*.

Seorang pula kaum gulawarganya duduk menjadi penghuluh

kepada negeri Waiputih, digelar Sellat* namanya. Lalu

menyeberang ke tanah Hitu, masuk dalam labuan, maka ia naik ke

darat mengambil tempat akan negerinya. Maka suatupun tiada

hijab pada mereka itu melakukan kehendaknya. Itulah kesudahan

riwayat bangsya Jailolo. Alkissah peri mengatakan bangsya

Goron* dan diceriterakan oleh yang empunya ceritera demikian

riwayatnya.[Sekali] perastawa* dengan kehendak Allah ta`ala ia

datang kepada suatu tanjung Nukuhali, lalu masuk ke dalam

sungai, diam dirinya dalam utang, seorangpun tiada mengetahui

dia. Tellah demikian itu maka sebuah perau daripada pihak

bangsya Jailolo ia keluar mengambil ikan. Daripada ketika itu

sebuah perau daripada orang yang datang itu keluar memukat.

Lalu ia pulang sehingga seorang juga, ia duduk di tepi sungai itu

menengok pada orang mengambil ikan itu dan orang mengambil

ikan itu pun pandang kepadanya, lalu bertanya-tanyakan:

Darimana engkau datang dan di mana engkau duduk?’ Maka ia

menyahut: ‘Di darat sungai ini kami duduk.’ Lalu perau mengambil

ikan itu kembali menyampaikan khabar kepada perdana Jamilu,

maka ia pergi sendirinya kepada orang itu. Sama berhadapan, lalu

bertanya padanya: ‘Darimana datang dan apa kehendakmu

datang ini?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang dari

benua Goron* dan kehendak kami mencari tempat kedudukan

kami.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Maukah duduk serta kami?’

Maka ia menyahut: ‘Mengapa maka tiada mau, jikalau dengan

faedahnya yang baik?’ Maka pula perdana Jamilu: ‘Mengapa maka

tiada dengan faedahnya yang baik? Jika duduk serta kami

kupersuamikan anakku akan isterimu supaya jangan was-was

hatimu kepada kami.’ Maka ia menyahut: ‘Apatah daya lagi, jika

bagai kata demikian itu? Tetapi baik kita periksyai dahulu atau ia

maukah atau tiada mau kepada kami, karena ia anak yang

empunya negeri, ada pun kami ini anak dagang. Itulah sebabnya

baik kita periksai dahulu.’ Lalu keduanya pergi masuk dalam

negeri kepada rumah perdana Jamilu. Maka perintah dengan baik

patut pakaian yang baik kepada hambanya, ia duduk di atas di

hadap orang banyak, dan pakaian yang jahat kepada anaknya, ia

duduk di bawah serta memegang penyapu. Tellah demikian itu,

maka menyuruh orang membawah kepadanya, lalu masuk serta

orang banyak dan permullianya dengan adat sehinggasana. Ia

berhadapan dengan perdana Jamilu bijaksana, maka kata Jamilu:

Pada hari ini dan ketika ini kita sempurnakan janjian itu. Tellah

kesudahan kataku termasyhur didengar oleh orang sekalian.

Daripada itulah kurelahkan anaku akan isterimu.’ Maka

menyahut: ‘Kujungjung ke bawah kadim yang memeliharakan dan

mengasih dagang piyatuh.’ Lalu ia menyaksyikan sepahnya,

demikian katanya: ‘Apabila bennar anaknya yang di atas itu,

lettalah kepadanya. Jika benar yang di bawah itu, lettalah

kepadanya. Lalu dicampakan serta dengan kehendak Tuhan Yang

Mahasuci lettalah kepada yang di bawah itu. Maka ia tersunyum

serta barpantung: ‘Harap-harap janji tuhan mengasih dagang

piyatu. Siapa mengetahui tipu dayah tuhan?’ Lalu menyahut

demikian katanya: ‘Dagang piyatu minta maaf. Ada pun yang di

atas itu, dari dunia datang ke akhirat akan syaudaraku dan ada

pun yang di bawah memagang penyapu itu, tuhan perhamba akan

kami.’ Maka kata Jamilu: ‘Betapa kata demikian? Karena ia hamba

mengapa maka kau ambil kepadanya? Didengar orang seolah-olah

dicellai kepada kita, tetapi tiada mengapa. Kepada anaku juga

yang menyasal, karena tiada patut hamba dan orang baik.’ Maka

ia menyahut: ‘Apatah daya? Untung kita serta kehendak Allah

ta`ala.’ Lalu diam dirinya. Maka kata perdana Jamilu: ‘Bennarlah

anaku, orang besar daripada Goron*.’ Lalu dipersuamikan

anaknya serta makan minum bersuka-sukaan dalamnya. Itulah

nyata orang berbahagia dalam dunia. Tellah demikian itu, maka ia

mengambil tempat akan kedudukannya. Itulah negeri bangsya

Goron*, perdana kipati namanya. Tellah kesudahan anak cucu

Goron* linang. Maka jadi empat negeri pada tatkala itu. Maka

dengan kehendak Allah ta`ala muafakat keempat perdana itu

menjadi suatu negeri dan empat negeri itu dijadikan empat

kampung dan empat nama. Alkissah peri mengatakan tatkala

keempat perdana muafakat itu menjadi suatu negeri dan keempat

kampung, serta dipindakan nama keempat itu. Ada pun Zamanjadi

dipindakan Totohatu namanya dan perdana Mulai Mulai

dipindakan Tanihitumesen namanya dan perdana Jamilu

dipindakan Nusatapi namanya dan perdana kiyai pati dipindakan

Pati Tuban namanya. Itulah dimasyhurkan nama keempat itu

dalam tanah Hitu. Dan berjanji-janjian serta berputusan barang

sesuatu pekerjaan dalam tanah Hitu, maka muafakatlah

keempatnya, lalu dikerjakan dan tiada lain lagi daripada keempat

perdana itu. Itulah seperti emas, tiada dengan supuhnya lagi. Ada

pun keempat perdana itu, jikalau dinamai bendahara pun benar

juga, dan dinaikan kerajaan pun patut juga daripada bangsyanya

datang itu. Karena ia itu tiada dibesarkan dan tiada dan tiada

dihinakan dan tiada dinaikan dan tiada diturunkan, melainkan

melakukan kehendaknya. Itulah kenyataan empat bangsya itu.

Kemudian daripada itu datang suatu bangsya tiga kaum yang ia

datang dari negerinya. Maka dimasukkan tiga kaum itu tiga

kampung, jumlahnya tujuh kampung dalam negeri Hitu. Itulah

kesudahan kaum daripada pihak empat perdana. Alkissah peri

mengatakan daripada pihak rayatnya tiga puluh gelaran dan

daripada tiga puluh gelaran itu tujuh pengawanya yang besar.

Ialah mengerjakan sesuatu pekerjaan daripada keempat perdana.

Lain daripada itu tiada dimasukkan, sehingga takluk namanya.

Apabila kepada suatu pekerjaan, maka keempat perdana

muafakat dahuluh. Tellah sudah muafakat, maka dimasukkan tiga

kaum dahuluh. Kemudian daripada tiga itu, maka dimasukkan

tujuh pengawanya serta tiga puluh gelarannya. Itulah diadatkan

zaman datang kepada zaman turun-menurun, tiada berubah lagi.

Itulah kesudahannya. Alkissah peri mengatakan bangsya Ambon

dan peri mengatakan bangsya Jawa, maka diceriterakan oleh

yang empunya ceritera, sekali perastawa dengan kehendak Allah

ta`ala dua kaum, Zamanjadi dan perdana Mulai, keduanya

melakukan kehendaknya. Zamanjadi endak akan kerajaan dan

perdana Mulai pun ia akan kerajaan, maka fitna kedua kaum itu,

lalu berkellai. Hatta berapa lamanya seorangpun tiada manang

kepada seorang dan seorangpun tiada allah kepada seorang. Lalu

Zamanjadi menyuruh mengambil angkatan dari negeri Selan

Binaur datang endak menyarang kepada negeri perdana Mulai.

Dan perdana Mulai pun menghimpunkan segala hulubalangnya,

makan minum sehingga menanti kepada angkatan itu. Berapa

lamanya maka datanglah angkatan itu, lalu turun menyarang

kepada negeri dan empunya negeri pun keluar. Barparanglah

kedua pihak itu. Hatta seketika juga patah angkatan itu, lalu

undur daripada karas parang rakyat perdana Mulai. Maka kembali

angkatan itu tiada boleh allah kepada negeri. Daripada itulah

pantai Hitu dinamai Liasela* namanya. Maka angkatan itu pulang

dengan dukkacittanya dan empunya negeri pun makan minum

bersuka-sukaan dan beramai-ramaian dalam negeri. Hatta berapa

lamanya maka perdana Jamilu bijaksana ia pergi kepada perdana

Mulai. Maka ia berkata: ‘Betapa kehendakmu kepada Zamanjadi

itu?’ Maka menyahut perdana Mulai: ‘Ada pun kami kedua kaum

ini kepada bennarnya siapa akan kerajaan?’ Maka kata perdana

Jamilu bijaksana: ‘Jika kepada bennarnya engkau juga, karena

engkau memulai negeri ini. Sebennar ia datang dahulu, tetapi ia

duduk dalam hutan.’ Maka kata perdana Mulai kepada perdana

Jamilu: ‘Maukah tolong kepadaku?’ Maka ia menyahut: ‘Mengapa

maka tiada mau? Tetapi jika ada faedahnya.’ Maka kata pula

perdana Mulai: ‘Apabila engkau tolong kepadaku, apa barang

kehendakmu itu dan apa katamu itu tiada kulalui. Itulah kita

perjanjikan.’ Maka kata perdana Jamilu: ‘Jika bagai kata demikian

itu, ikutlah perintaku.’ Maka diiakan oleh perdana Mulai. Demikian

perinta perdana Jamilu: ‘Apabila datang kepada hari anu,

himpunlah orang serta senjata. Aku pun demikian lagi. Apabila ia

keluar mencari kehendaknya, sunyilah negeri. Maka kita pun

masuklah kepadanya melakukan kehendak kita itu.’ Tellah

berjanji demikian lalu ia pulang. Hatta datang kepada esok

harinya pergi pula kepada Zamanjadi, demikian katanya: ‘Betapa

kehendakmu kepada orang itu?’ Maka menyahut Zamanjadi serta

bertanya kepada perdana Jamilu: ‘Ada pun kami kedua ini kepada

bennarnya siapa patut akan kerajaan?’ Maka kata perdana Jamilu:

Jika kepada bennarnya Zamanjadi akan kerajaan. Bennar katanya

ia memulai negeri, tetapi Zamanjadi dahulu datang, ia kemudian.’

Itulah sebabnya, maka kata Zamanjadi kepada perdana Jamilu

bagai kata perdana Mulai itu juga, maka menyahut perdana

Jamilu pun demikian itu juga, serta berjanjian hari dan ketika itu.

Lalu ia pulang masing2 membilang hari yang diperjanjikan itu.

Hatta datanglah kepada hari yang diperjanjikan itu, maka kedua

kaum itu harkat* serta senjata, lalu keluar. Maka datang suruan

perdana Jamilu kepada perdana Mulai, demikian katanya: ‘Apa

tipu kita, karena ia sudah tahu perbuatan kita. Sabar dahulu serta

baik-baikan dengan dia. Apabila sudah lupa kepada harkatnya itu,

kemudian berbuat kehendak kita itu.’ Maka menyuruh pula

kepada Zamanjadi pun demikian juga. Maka kedua kaum diiakan

kata perdana Jamilu itu, lalu ia keluar berhadapan dengan orang

sekalian. Maka ia berkata: ‘Apa tipu kita kepada dua kaum ini?

Apabila Zamanjadi akan kerajaan, perdana Mulai tiada mau

sembah, dan jika perdana Mulai akan kerajaan, Zamanjadi pun

demikian juga tiada mau sembah. Apabila keduanya akan

kerajaan, belum lagi kedangaran dalam dunia suatu negeri dua

kerajaan. Apabila ia keduanya akan kerajaan, jadilah empat

kerajaan dalam negeri, karena empat perdana itu seseorang tiada

tinggi kepada seseorang dan seseorang tiada randah kepada

seseorang. Melainkan kehendak Allah subhanahu wa-ta`ala serta

orang muafakat, maka jadi akan kerajaan. Baik juga kita kata

demikian kepadanya, supaya menanti kehendak Tuhan Yang

Mahamurah berbahagia kepada seseorang akan yang dipetuhan,

itulah sempurna kerajaan. Ada pun pada ketika ini kita buat

demikian pada keduanya: jika ikut kata orang sekalian, al-hamdu

li-'llah, supaya kita menanti karunia Allah ta`ala. Apabila tiada

mengikut, apatah daya sudahlah. Atau salah suatu mengikut kata

ini, yang mengikut itu kaum kita sekalian ini, yang tiada mengikut

itu bukanlah kaum kita sekalian. ’Tellah demikian itu maka

menyuruh kepada dua kaum itu segala perastawa perinta kata itu

semuanya dikatakannya, maka diiakan oleh dua pihak itu. Lalu

keluar kepada orang sekalian, maka demikian keduanya, maka

bersettia muafakat dan bersuka-sukaan kembalilah kepada

adatnya. Maka suatupun tiada ellat lagi dalamnya. Maka keempat

perdana itu seorang tiada tinggi kepada seorang dan seorang

tiada randah kepada seorang, yakni keempatnya bersamakan.

Apabila barang suatu pekerjaan melainkan keempatnya

berhadapan, maka dikerjakan. Kemudian daripada itu jika

seorang tiada atau dua orang atau tiga orang sehingga seorang

jugapun nama keempat juga. Itulah yang bersatuan nama

keempat itu selamah-selamahnya zaman datang kepada zaman.

Itulah adat keempat perdana dalam tanah Hitu. Alkissah dan

diceriterakan oleh yang empunya ceritera, sekali perastawa

keempat perdana berhadapan muafakat. Maka perdana Pati Tuban

ia belayar ke benua Jawa tuntuti agama rasul Allah salla 'llahu

alaihi wa-sallama. Tatkala itu seri sultan Maluku paduka Zainul

Abidin khallada 'llahu mulkahu wa-saltatahu ia datang ke benua

Jawa, maka bertemu kepadanya. Lalu bertanya kepada perdana

Pati Tuban Maka segala hal-akhwalnya semuanya diceriterakan

kepada serri sultan. Lalu bersettia dan muafakat serta perjanjijanjian

dan bersumpah-sumpahan sehingga datang kepada hari

kiamat seperti firman Allah: ‘Inna 'llaha la yukhlifu 'l-mi`ada.’

Itulah pertama yang memulai perjanjian. Hatta datang musim

sultan pun pulang. Sehingga datang ke tanah Bima ada suatu

fitnah dengan raja Bima, lalu barparang pada ketika itu. Empat

puluh orang pendagar, yakni antun-antun, mengiring kepada serri

sulthan Zainul Abidin. Hatta dengan ajal Allah maka datang

seorang hulubalang raja Bima. Ia datang menuju serri sultan, lalu

menikam dengan lembingnya kennah kepada sultan Maluku, dan

serri sultan pun serta menettah hulubalang itu. Lalu mati

hulubalang itu dan raja pun luka. Maka keempat puluh pendagar

itu dinaikan kepada raja di atas kelengkapan, lalu belayar. Hatta

berapa lamanya di tengngah jalan maka serri sultan Zainul Abidin

pun wafatlah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji´un. Pada ketika

itulah bawah kepada pendita yang alim, tuhan Bahrul* namanya,

akan kadi di negeri Ternate. Maka diceriterakan oleh [yang

empunya ceritera] perdana Pati Tuban ia pulang ke tanah Hitu,

maka mengatakan peri hal-akhwal perjanjian dengan raja Maluku

itu. Semuanya dikatakannya kepada orang sekalian serta

dijungjung titah itu, sehingga datang kepada sultan Khairun Jamil

akan kerajaan zill Allah fi 'l-alamin. Maka masyhurkan

demikianlah riwayatnya: ada pun tatkala serri sultan Khair Jamil

akan kerajaan itu, lalu ia bertanya kepada perdana yang besar

dalam negeri demikian titah: ‘Hai segala perdana dan parwara

sekalian, berapa kampung dalam negeri kita ini?’ Maka menyahut

mankubumi: ‘Ada pun dalam negeri yang dipetuhan sembilan

kampung jumlahnya, sepuluh dengan negeri Hitu.’ Lalu menyuruh

kiaicili* Darwis akan utusan ke tanah Ambon meneguhkan pula

perjanjian itu, sehinggalah termasyhur Ternate dengan Hitu. Ada

pun tatkala utusan datang ke Ambon itu singga di tanah Boanoh*,

maka lalu ke pantai Eran* dan dari pantai Eran* itu lalu ke

tanjung Siyal. Ia masuk ke pantai Waibuti, lalu menyeberang ke

tanah Hitu. Pada ketika itulah negeri Hitu dan negeri Waiputih

serta negeri Eran* ketiganya muafakat bersama-sama. Tellah

demikian itu kuceriterakan yang empunya ceritera. Tatkala

perdana Pati Tuban ia datang dari tanah Jawa itu, lalu negeri Hitu

pun masuk iman kepada Allah dan nabbi Muhammad serta agama

rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Maka suatupun tiada

hisab* melainkan memerintahkan tanahnya serta agama Allah

dan agama nabbi Muhammad salla 'llahu alaihi wa-sallama amin

ya Rabb al-`alamin. Alkissah peri mengatakan perdana Jamilu dan

peri mengatakan panngeran Japara. Maka kuceriterakan yang

empunya ceritera demikian riwayatnya. Tatkala perdana Jamilu

menyuruh utusan ke tanah Jawa mengadap kepada pangeran

Japara, maka ia bersettia dan muafakat dengan pangeran. Tatkala

itu nyai Bawang* akan kerajaan, maka ia bertanya bangsya

perdana Jamilu, maka semuanya diceriterakan kepadanya. Lalu ia

memberi nama Patinggi: ‘Karena nama Jamilu itu artinya kepada

bahasa Jawa “jangan mengikut”. Itulah sebabnya dan seperkara

lagi nama syaudaraku itu kuberikan kepadanya.’ Hatta datang

musim utusan itu pun pulang dan orang Japara pun gennap

musim tiada berputusan bedagang ke tanah Hitu dan tanah

Ambon sekalian sebagailah, pergi datang berulang2 tiada

berputusan, sehingga Nyai Bawang* pulang ke rahmat Allah. Dan

negeri Hitu pun firaklah* dengan negeri Japara daripada raja

yang kemudian itu kuranlah adilnya seperti raja yang dahulu.

Apabila raja itu tiada dengan adilnya diupamakan matahari tiada

dengan bercahayanya. Daripada itulah maka dikatakan firak,

tetapi bukan firak, sehingga tiada sampai ini juga. Itulah

kesudahannya negeri Hitu dan negeri Japara. Alkissah peri

mengatakan syariat nabbi akhir zaman. Ada pun tatkala masuk

iman serta mengesakan Allah subhanahu wa-ta`ala dan

termasyhurlah agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama,

lalu membuat suatu mesjid tujuh pangkat. Tellah itu maka

dinaikan Maulana ibn Ibrahim akan kadi daripada ia mutakalim

daripada alim mahudum* guru sekalian tanah Ambon. Daripada

ialah termasyhur agama Allah dan agama nabi Muhammad rasul

Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Kemudian daripada itu, maka

kuceriterakan yang empunya ceritera, kepada suatu hari keempat

perdana berhadapan kepada suatu tempat, maka keempatnya

muafakat mengira-mengirakan negerinya. Maka seorang berkata:

Mana baik beraja daripada yang tiada beraja?’ Maka kata

seorang: ‘Daripada yang tiada beraja, baik beraja.’ Dan seorang

berkata pula: ‘Daripada beraja baik tiada beraja.’ Maka seorang

pula berkata: ‘Mana faedah yang baik beraja itu dan mana faedah

yang baik daripada tiada beraja itu?’ Lalu berkata keduanya:

Demikian faedah yang baik beraja.’ Maka kata seorang pula:

Demikian faedah yang baik daripada yang tiada beraja.’ Maka

kata pula: ‘Bennar juga kata keduanya itu tiada salah, tetapi kita

naikan dahulu seorang akan kerajaan, supaya kita periksai

kepada faedahnya yang baik beraja atau faedah yang baik tiada

beraja itu.’ Lalu dinaikan kaum gulawarganya seorang akan

kerajaan. Maka digelarnya Latu Sitania namanya, yakni artinya

raja tanya’, nama yang dijungjung. Dan dinaikan hukum*

AbubakarNaseddiki* namanya. Maka suatupun tiada ellat dalam

tanah Hitu. Hatta berapa lamanya keempat perdana berhadapan

serta orang banyak, maka raja naik ke atas balai. Ia duduk

bejuntai-juntai, maka kata orang sekalian: ‘Nyatahlah faedah

yang baik beraja dan faedah yang baik tiada beraja.’ Maka kata

keempat perdana: ‘Apa salahnya karena ia kerajaan? Tetapi

sehinggalah kerajaan, yakni dipawahkan*. Ada pun amar dan nahi

serta adat semuanya itu melainkan keempat perdana juga.’ Apa

yang kehendaknya itulah diadatkan daripada zaman datang

kepada zaman turun-menurun. Tiada lain daripada keempat

bangsya itu, melainkan kehendak Allah ta`ala juga tiada dapat

dikatakan. Alkissah dan kuceriterakan tatkala itu perastawa

keempat perdana membahagi rakyat. Seorang pengawa empat

gelaran kepada seorang perdana. Demikian juga keempatnya

seorang pengawa empat gelaran turun-menurun, demikian juga

kemudian daripada itu. Dan kuceriterakan sekali perastawa raja

naik kepada sebuah perau. Apa2 kehendaknya tiada ia muafakat

dengan keempat perdana. Ia keluar bersuka-sukaan sehingga

datang kepada suatu pantai, Hunimoa namanya pantai itu. Maka

tiada berupama kepada yang empunya negeri serta melakukan

kehendaknya dan negeri itu pun tiada diketahui kepadanya. Maka

dikata dengan kata yang aib, lalu ia pulang diam dirinya kepada

halnya. Itu pun tiada dikatakan kepada empat perdana itu. Lalu ia

menyuruh kepada negeri yang bukan takluknya. Ia minta tolong

kepadanya. Maka negeri itu keluar dengan angkatan pergi

menyerang kepada negeri itu. Tiada boleh alah, jangan alah naik

ke darat pun tiada boleh, lalu kembali angkatan itu. Maka kata

keempat perdana: ‘Mengapa maka kembali angkatan ini?’ Maka

sahut orang itu: ‘Tiada boleh alah kepadanya.’ ‘Mengapa maka

tiada boleh alah kepadanya?’ Maka kata angkatan itu: ‘Jangan

alah, turun ke pantainya pun tiada dapat.’ Maka kata perdana

Jamilu: ‘Betapa perintah parangnya itu?’ Maka menyahut orang

itu: ‘Ada pun panglimanya itu terlalu sangat gagahnya. Apabila

kita langgar ke darat, maka ia keluar, lalu sekali-kali di aluan

angkatan itu serta menetta. Sebab itulah maka tiada dapat turun.

Demikianlah halnya orang itu.’ Tellah didengar kata orang

demikian itu, serta menyingsing tangan bajunya, lalu ia becakap

di hadapan orang sekalian, demikian katanya: ‘Insya Allah ta`ala

berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, jika beta

tiada dapat alah kepada negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Tellah

demikian itu maka ia membuat suatu maslahat serta dengan

panah di aluan kelengkapannya itu. Hatta ia datang, lalu langgar

ke darat. Maka panglima negeri itu keluar, lalu sekali-kali di aluan

kelengkapan itu. Maka dilepas kepada maslahat itu serta dengan

kehendak Allah ta`ala kennah panglimanya itu mati dan orang

banyak itu pun undur serta lari. Maka diikut belakangnya orang

itu, lalu alah kepada negerinya. Tellah demikian itu, maka ia

kembali dengan kemenangngannya makan minum bersukasukaan.

Maka kata orang sekalian: ‘Bennarlah perdana Jamilu

pahlawan dan bijaksana dalam tanah Hitu.’ Lalu disalin dan

dimuliah kepadanya, tiada seupamanya lagi dalam tanah Hitu.

Hatta lama datang kepada lamanya, makin bertambah kebajikan

dan kepujian. Itulah kehendak Tuhan Yang Mahamurah kepada

makhluknya, berbahagia seseorang-orang dalam dunia. Alkissah

dan kuceriterakan yang empunya ceritera: sekali perastawa sebua

perau Saki Besi Nusatelu* ke laut Puluh Tiga mengambil ikan.

Maka ia datang membawah khabar kepada perdana Jamilu,

demikian katanya: ‘Ada kami bertemu sebua perau di laut Puluh

Tiga. Selamanya umur kami hidup dalam dunia, bulum lagi

melihat rupa manusyia bagai rupa orang itu. Tubuhnya putih dan

matanya seperti mata kucing. Lalu kami tanya kepadanya, ia tiada

tahu bahasa kami dan kami pun tiada tahu bangsyanya.’ Maka

kata perdana Jamilu: ‘Pergilah engkau bawah ia ke mari.’ Maka

kembali pula bawah ia datang ke negeri kepada perdana Jamilu.

Lalu ditanya kepadanya: ‘Darimana datang dan apa nama

negerimu?’ Maka ia menyahut: ‘Ada pun kami ini datang di sini

kami sessat tiada tahu jalan. Maka kami jatuh pesir* ke tanah

sebelah dan kapal kami pun tekarang di laut Puluh Burung*. Maka

tinggal kapal kami, naik kepada sampang endak pulang ke negeri

Portugal. Tetapi malim tiada tahu, maka kami datang ke mari.

Apatah daya, untung kami di sini.’ Lalu diberinya tempat

membuat rumahnya ia duduk. Hatta berapa lamanya maka ia

memohon setengah duduk menungguh rumahnya dan setengah

membawah khabar kepada orang besarnya. Hatta datang musim

barat, maka menyuruh kapalnya datang gennap tahun tiada

berputusan lagi. Jadi ramai bandar di tanah Hitu dan termasyhur

sekalian tanah Ambon. Kepada zaman itulah maka digelarnya

kepada perdana Jamilu ‘kapitan Hitu’ namanya dan berjanjian

apabila datang kapalnya, maka diberinya masara persalin kepada

Kapitan Hitu. Gennap tahun diadatkan selamanya, maka suatupun

tiada hujat dalamnya pada ketika itu dan termasyhur nama

Kapitan Hitu dari negeri Ambon sampai negeri Portugal. Maka raja

Portugal digelarnya dua nama, suatu Kapitan Hitu, kedua Don

Jamilu namanya. Hatta datang lama dengan lamanya serta

kehendak Allah ta`ala yang kebaikannya itu dibalaskan oleh

Tuhan Yang Mahamurah datang kejahatannya. Sekali perastawa

ia minum mabuk, lalu berampas-rampasan serta haru-biru dalam

pasar. Maka disampaikan kepada hukum dan penghuluh agama,

maka kata penghuluh agama: ‘Salah orang itu melainkan sampai

nyawanya.’ Maka kata keempat perdana: ‘Bennar kata hukum dan

penghuluh agama, tetapi ampun dahuluh kepadanya, karena

sudah termasyhur kita membuat baik kepadanya. Kemudian kita

membuat jahat pula, apa hal nama kita didengngar oleh orang?

Baik kita pindahkan dia kepada tempat yang lain, jangan sama

senegeri kita.’ Maka dipindahkan dia ke tanah sebelah kepada

tempat yang baik ia duduk, daripada negeri itu tiada beragama

dan lagi banyak minuman anggur. Seperkara lagi sama

makanannya dan minumannya. Itulah hal keempat perdana. Pada

ketika itu tiada dikira-kirakan kepada hari yang kemudian. Hatta

berapa lamanya menjadi fitna, lalu paranglah dengan dia. Sorangmenyarang,

alah-mengalah sebagailah tiada berputusan parang

sabil Allah. Sekali perastawa keempat perdana menyarang kepada

sebuah negeri kafir. Maka keluar kafir itu serta barparanglah

kedua pihak itu seperti orang bepasaran, jual-beli, tukarmenukar.

Bunyi senjatanya diupamakan guruh di atas langit.

Hatta berapa dalamnya pun parang lanatullah itu dan tentara

Islam itu pulang serta kemenangnya, bersuka-sukaan, makanminum

dan bergela-gelaran nama panglimanya itu, sehingga

dimasyhurkan dua nama, pertama Lekalahabesi dan kedua

Tubanbesi, daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi

wa-sallama dan Tubanbesi pun syahid pada ketika itu. Tellah

demikian itu maka adinda perdana Jamilu belayar ke tanah Jawa

mengadap kepada pangeran Japara. Maka pangeran Japara

menyuruh tujuh buah gurap mengantarkan dia. Hatta datang ke

tengah laut antara Jawa dan Bali, maka ia sakit serta dengan

ajalnya, maka ia meninggal negeri fanah datang kepada negeri

baka. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan maitnya itu

ditaburkan bauh-bauan, maka dimasukkan ke dalam petti, lalu

belayar dibawah oleh angin dan arus jatuh datang ke tanah Seran.

Maka ia menengar khabar orang, ada sebuah kapal di tanah

Bandan*. Lalu menyuruh sebuah gurap antar kepada mayit itu

dahuluh dan ain inayat naik kepada sampangnya ennam buah itu

dan gurapnya itu menanti di tanah Seran. Hatta ia datang ke

Bandan, lalu naik rampas kepada kapal itu dan orangnya itu habis

dibunuhnya. Maka ia pulang kepada gurapnya, lalu belayar ke

Ambon. Maka didengar oleh kafir itu, ia menyuruh angkatan

mengadang di tengngah jalan. Hatta berapa lamanya, maka

bertemu kedua kelengkapan itu, lalu berparanglah. Maka

penghuluh kelengkapan itu kira-kiranya sukar karena banyak

kafir itu. Maka ia meninggal dua buah gurap sehingga dinaikan

orangnya, lalu ia masuk ke pantai Hitu bersama-sama dengan

tamannya yang mengantarkan mayit itu dan diturunkan kepada

mayit itu. Maka dipeliharakan dan diadatkan kepada mayit itu

sehingga datang kepada seratus harinya. Tellah demikian itu

maka dihimpunkan orang serta kelengkapan Japara itu pergi

menyerrang kepada sebuah negeri kafir, Hatiwe namanya. Pada

ketika itulah pendagar Tahalele menyerrang buankan dirinya ke

tengah tentara kafir itu seperti harimau. Tiada dapat terpandang

mukanya oleh musuh itu, lalu alah negeri itu. Maka ia pulang

dengan kemenangngannya sehingga datang ke negeri bersukasukaan,

makan-minum dan disalininya kepada pendagar Tahalele

serta digelarnya pahlawan Tubanbesi dan syamsyirnya Lukululi,

artinya ‘patah tulang’. Namanya digantikan Tubanbesi yang mati

itu. Inilah muafakat orang parang sabil dalam dunia. Entah

berapa lagi dalam akhirat dibalaskan Allah ta`ala karena sabda

nabi salla 'llahu ’alaihi wa-sallama: ‘Apabila mati Islam, dalam

akhirat bulum lagi diterima oleh malak al Ridwan, jika bulum

dilepaskan oleh malak al Zabaniah.’ Yakni artinya bulum lagi

masuk syurga, jika bulum lagi lepas daripada azab naraka.

Apabila Islam mati parang sabil, maka dalam akhirat suatupun

tiada hisab* kepadanya melainkan masuk syurga. Itulah manfaat

orang parang sabil dalam akhirat. Alkissah peri mengatakan

parang Don Duarde datang daripada negeri Portugal serta dengan

kelengkapannya, entah berapa-rapa panglimanya, maka ia naik ke

darat, lalu masuk ke medan dan berbunyilah gendang, suisa* dan

serunai, caramela* pelbagailah bunyi-bunyian. Maka didirikan

panji-panji parang dan tentara Islam pun demikian lagi.

Panglimanya dan pendagarnya serta dengan harkatnya. Maka

kedua pihak berhadapan seperti orang bersembahyang mengadap

kepada kiblat. Lalu bertempik kedua pihak itu upama guru di atas

langit bunyi tempiknya. Hatta seketika juga mardan* Khatib ibn

Maulana dan maradan Tahalele ibn Abubakar Nasiddik keduanya

syahid. Kemudian daripada itu mardan Totohatu ibn Zamanjadi ia

bertempik, lalu menetta, maka ditankis oleh laknatullah itu.

Esfinkarnya* putus kedua pangkal, maka patah parang kafir itu.

Hatta datang seketika lagi masuk pula ke medan, maka bertempik

Umar, pendagar parang. Lalu ia menetta serta merampas panjipanji

kafir laknatullah itu, maka patah pula laknat itu. Seketika

juga himpunkan orang dan panglimanya sekalian serta dengan

Den Daurdia*. Daripada sanngat marah hatinya kepada panjipanjinya

itu, maka masuk pula parang ke medan. Maka kata

pahlawan Tubanbesi: ‘Untunglah aku sekarang pada ketika ini,

karena pintu syurga sudah terbukah.’ Lalu bertempik

menyerbukan dirinya ke dalam tentara kafir itu. Ia beparang

tettak-menettak serta kehendak Allah ta`ala kulitnya tiada makan

besi. Maka dipaluh dengan esfingarnya* laknatullah itu, maka

ditangkis oleh pahlawan itu, patah tulang tangannya yang kiri.

Maka tentara kafir itu cerai-berrai, masing-masing melarikan

dirinya, lalu naik kepada kelengkapannya kembali serta dengan

dukkacittanya dan orang Hitu pun kembali memeliharakan

mayitnya itu. Alkissah peri mengatakan sultan Maluku

demikianlah riwayatnya, yang diceriterakan oleh yang empunya

ceritera. Ada pun tatkala itu datang sebuah kapal membawah

kepada serri sultan Maluku ke tanah Ambon. Ia masuk ke Kota

Laha, maka khabarkan orang kepada negeri Hitu dan tanah

Ambon sekalian. Maka keempat perdana menyuruh orang

periksyai kepada khabar itu, bennarkah atau tiadakah. Maka

datang orang itu katanya: ‘Bennar juga khabar itu.’ Maka keempat

perdana muafakat: ‘Apa tipu kita karena janjian kita serta

sumpahan?’ Lalu menyuruh kepada kapitan* Feranggi itu minta

bedamai. Maka ia pun mau,lalu bedamai orang Hitu dan orang

Feranggi. Tellah demikian itu, maka menyuruh tanya kepada

gurendur Peranggi itu, demikian katanya: Dapatkah atau tiadakah

kami endak menyuruh melalat kepada raja Ternate itu?’ Maka

kata gurendur Feranggi: ‘Mengapa maka tiada dapat, karena kita

sudah bedamai.’ Lalu menyuruh melalawat* dengan tipu

maslahat. Empat puluh mata keris dimasukkan ke dalam gendaga

Seran dan di atas keris itu has* sehellai dan di atas has itu sirri

pinang dan bunga serta bauh-bauan. Dan empat puluh orang

gaggah membawah makanan serta gendaga itu di hadapan raja.

Lalu dibukah sendirinya serta pandang kepada keris itu, maka

raja pun tercengang tiada boleh bersuarah, lalu ditudung pula

kepada gendaga itu. Hatta lagi maka titah syah alam kepada

empat puluh orang itu: ‘Pulanglah engkau bawah gendaga itu dan

sampaikan salamku kepada empat perdana. Ada pun daging

darahku sekali pun tiada bagai demikian ini. Tanda kasih dan

tulus serta kehendaknya itu tellah sampailah kepada kami, maka

kami pun terima dengan sempurnanya. Ialah bennar syaudaraku

dari dunia datang ke akhirat. Inilah tanda berteguhan ikrar dan

tasdik.’ Lalu orang itu pulang serta gendaga itu dan sampaikan

salam titah itu kepada keempat perdana. Maka keempat perdana

pun endak mengulang lagi, lalu kapal pun belayar membawah

kepada serri sultan. Maka tanah Hitu serta tanah Ambon sekalian

paranglah dengan kafir laknat itu. Alah-mengalah, sarangmenyarang

sebagailah parang sabil Allah. Alkissah dan

diceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada parang

Don Daurde itu, maka datang kapitan Sanjo*, terlalu ammat

gaggahnya. Ia naik ke darat, lalu membuat kotanya di pantai Hitu.

Maka ia parang siang malam, pagi petang tiada berkeputusan.

Dan negeri Hitu pun pinda ke atas bukit, Ulukulu namanya,

betahanlah di atas bukit itu. Hatta berapa lamanya alah negeri itu,

maka naik pula ke atas bukit Mamala, betahanlah di situ. Hatta

berapa lamanya alah pula bukit itu. Maka negeri semuanya itu

takluklah kepadanya kafir itu. Sehingga keempat perdana dan

setengngah negeri tiada berapa itu pinda ke Tanah Besar. Ia

duduk di negeri Lesiela*, maka berulang-ulang beparang di tanah

Hitu. Pada ketika itu pahlawan gimelaha* Laulata ada di tanah

Ambon. Ialah memeliharakan negeri sekalian serta mengeluarkan

angkatan ke tanah Hitu. Maka ia langgar kepada sebuah kapal,

lalu ia kembali duduk di negeri Luhu serta meneguhkan tanah

Ambon. Tellah demikian itu, maka hukum Abubakar pergi

mengadap kepada serri sultan di Maluku, yakni tentukan

perjanjian itu. Entah apa kehendaknya titah, maka ia pulang ke

tanah Ambon. Hatta didengar negeri sekalian di tanah Hitu tellah

datang hukum Abubakar daripada Ternate, lalu menyuruh gelaran

Tuheasal dan Tuhelusun datang kepada hukum dan keempat

perdana, demikian katanya: ‘Negeri sekalian empunya sembah

datang ke bawah kadim tuhanku. Ingatkah lagi rakyat tuhanku

atau tiadakah lagi?’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Mengapa maka

kami tiada ingat? Ingat juga, tetapi bulum lagi datang kepada

ketikanya dan waktunya.’ Maka menyahut pula gelaran itu:

Bilamana lagi tuhanku maka datang ketikanya dan waktunya?

Tetapi negeri tuhanku sekalian itu sekarang inilah datang

ketikanya dan waktunya melainkan tuhanku pulang dahuluh di

tanah Hitu.’ Maka kata hukum Abubakar: ‘Apabila bagai kata

demikian itu, pulanglah engkau, nyiyahkan kepada kafir itu

dahulu, maka kami percahaya.’ Lalu ia pulang memberitahukan

kepada negeri sekalian, lalu dibunuh kafir yang dalam negeri itu.

Tellah dibunuh itu, maka disampaikan kepada hukum dan

keempat perdana. Tellah demikian katanya: ‘Sudahlah bagai

kehendak tuhan-tuhan itu.’ Maka hukum Abubakar dan keempat

perdana pada ketika itulah pulang ke tanah Hitu. Ia duduk kepada

bukit Hatunuku. Pada zaman itu negeri Hitu sekalian memberi

kepala ikan ia upetti kepada keempat perdana. Itulah perinta

hukum Abubakar Nasiddik dan sekalian negeri pun kembali

kepada hukum Abubakar dan keempat perdana. Hatta berapa

lamanya bertambah -tambah kebajikan dan kemerahan, maka

suatupun tiada ellat sehingga melakukan parang sabil Allah

daripada berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama.

Tellah demikian itu dan diceriterakan negeri Hitu dan negeri

Nusaniwe kedua berhadapan kepada suatu majellis serta

muafakat dan berjanjian. Lalu dipepatutan karena negeri Hitu pun

keempat perdana itu empat bangsyanya dan Nusaniwe keempat

perdana juga, tetapi suatu bangsyanya, jumlahnya dualapan

perdana lima bangsyanya. Lalu Lalu dipepatutan: pertama Pati

Lupa* lawannya perdana Tanihitumesen, kedua Totohatu

lawannya Lisakota, ketiga Latuhalat lawannya perdana Nusatapi,

keempat perdana Pati Tuban lawannya perdana Pati Naelai. Itu

bersuatuan namanya. Apabila kasahkitan negeri Hitu, ia keduanya

juga, atau kebajikan negeri Nusaniwe, ia keduanya juga. Daripada

itulah negeri Nusaniwe ia pinda datang ke negeri Hitu. Suatupun

tiada dengan hisab* karena tatkala muafakat itu

dipersyahdakan*. Nama gelaran negeri Henalale dinamai

Hehahitu dan gelaran negeri Latua dinamai Hehatomi* namanya.

Itulah kesudahan negeri Hitu dan negeri Nusaniwe. Tellah

demikian itu dan diceriterakan daripada negeri Urin* dan Asilulu.

Sungguhpun namanya Ulisiwa, tetapi dalam pihak Ulima. Bennar

juga dalam pihak Ulima, tetapi dalam martabat negeri Hitu.

Daripada itulah maka tatkala ia bertemu kepada orang Peranggi

itu, maka dibawah kepada perdana Jamilu. Maka keempat

perdana menerima kepadanya itu serta dengan berjanji-janjian,

demikian itu katanya: ‘Apabila jika datang kebaikannya pun kita

bersama-sama, jika datang kejahatannya pun kita bersamasama.’

Dan suatu lagi dijanjikan juga: ‘Apabila jika orang dari

sebela pihak Ulisiwa endak masuk muafakat serta negeri Hitu,

maka datang kepada negeri Asilulu, bersama-sama datang ke

negeri Hitu.’ Ada pun perjanjian ini sehingga Alan, Liliboi dan

Larike, Wakasihu dan Urin*, Asilulu suatu juga. Alkissah peri

mengatakan johan pahlawan gimelaha Rubohongi. Ia datang akan

bendahara di tanah Ambon serta kaum gulawarganya gimelaha

Haji dan gimelaha Sakatruana. Lain daripada itu tiada

kuceriterakan sehingga ibn bendahara: pertama gimelaha

Kakasingku* dan (kedua) gimelaha Jamali dan (ketiga) gimelaha

Kulabu dan keempat gimelaha Aja dan kelima gimelaha Basi dan

keenam gimelaha Angsari*. Itulah daripada pihak bendahara.

Maka datang kepada kerabat serri sultan daripada bangsya raja:

pertama kiyaicili* Cuka, kedua cili Kodrat, ketiga cili Abu Syahid

dan keempat cili Kaba, kelima cili Naya, keenam cili Ici dan

ketujuh cili Aya, kedualapan baginda cili Ali, tatkala bulum lagi

dinaikan kapitan laut, lain daripada itu tiada kusubutkan. Dan

daripada pihak hamba raja pertama Kalaudi dan kedua Usman dan

ketiga Kabutu Malu dan keempat Sagaluwa*, kelima Sibangua,

keenam Ambalau. Lain daripada itu tiada kusubutkan dan sekalian

ini termasyhur pendagar. Pun ia utusan, pun ia pergi datang

berulang-ulang membawah titah sebagailah, karena pada tatkala

itu sangat parang sabil Allah di tanah Ambon. Ada parang di

darat, ada parang di laut, ada mennang, ada yang dimennang, ada

disarang, ada yang menyarang, sebagailah kedua pihak itu tiada

berputusan lagi. Segali perastawa gimelaha Kakasingku* keluar

dengan kelengkapannya, maka ia bertemu dengan angkatan

Nasrani di tanjung Mamala. Lalu melawanlah kedua angkatan itu

daripada waktu duha sehingga datang kepada bakda lohor. Serta

dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi sekali-kali dengan

kelengkapannya dan mayitnya perdana Kakasingku* pun sabil

Allah tiada kettahuan lagi. Kemudian daripada itu dan

kuceriterakan, sekalian keluar dengan kelengkapannya

mendattangi sebuah negeri, Latu namanya. Maka datang

angkatan kafir laknat bantu kepada negeri itu. Maka kedua pihak

berparanglah seperti orang bepasarang beramai-ramaian jualbeli.

Hatta datang malam masing-masing pulang kepada

tempatnya. Apabila datang esok harinya demikian juga, tiada

berputusan berkawal-kawal kedua tentara itu. Hatta datang

kepada suatu ketika serta dengan kehendak Allah ta`ala kepada

pihak Islam itu pergi barjalan ke sini dan orang kawal itu pun

serta dengan alpanya ia tidur. Maka dipandang oleh kafir laknat

tempat itu sunyi dan kotanya itu pun tiada manusyia, lalu ia

masuk. Laknat itu alah kepada kota Islam itu. Dan orang sekalian

itu pun lari masing-masing membawah dirinya sehingga gimelaha

Jamali al-Din, dua bersyaudara gimelaha Angsari* dan Liwa al-

Din, hoja* alim mahudum*: ketiganya syahid, karena Jamali al-

Din itu pahlawan yang termasyhur, ketiganya pendagar parang.

Daripada itulah maka tiada berpaling apa tipu orang banyak serta

dengan kehendak Tuhan Yang Mahatinggi daripada kesudahan

hidup manusyia dalam negeri fanah datang kepada negeri yang

baka. Dan Kalaudi pun dengan kelengkapannya masuk, maka ia

bertemu kepada kafir laknat itu, maka ia syahid serta

kelengkapannya pada ketika itu juga. Maka angkatan itu sekalian

kembali masing-masing ke negerinya. Alkissah peri mengatakan

parang kiyai Mas. Tatkala perdana Tubanbesi belayar ke tanah

Jawa mengadap kepada pangngeran minta tolong kepada agama

rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka pangeran

menyuruh kepada kiyai Mas serta kelengkapannya. Dan

panglimanya yang gaggah dalam angkatan itu Martajiwa namanya

dan seorang Panarukan namanya dan seorang pula Pasiruwan*

namanya. Hatta ia datang ke tanah Hitu dan orang Hitu pun

keluar angkatan serta ia mendatangi negeri kafir itu, lalu masuk

ke dalam negeri. Maka negeri ke dalam kotanya dan orang itu pun

mengikut belakangnya sehingga datang ke pintu kotanya. Maka

panglimanya yang gaggah itu syahid, maka patah parang Islam

itu. Ia undur lalu naik kepada kelengkapannya pulang ke negeri

Hitu. Hatta datang musim, maka ia belayar kembali ke tanah

Jawa. Itulah kesudahan parang kiyai Mas di tanah Hitu tolong

kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah

dan kuceriterakan yang empunya ceritera, sekali perastawa

keluar angkatan Islam mendatangi negeri kafir dan angkatan

kafir pun keluar. Maka kedua angkatan itu sama bertemu di

tengah jalan antaranya Hitu dan Kota Laha. Maka kedua pihak

berhadapan seperti orang berhadapan serta dengan hidangan

karena sangat maksud Islam ke sana kepada kafir laknat itu.

Sebab pada ketika itu baginda cili Cuka ia menjadi kapitan laut,

sendirinya memeggang panji-panji serta membaca salawat. Lalu

bertempik kedua pihak itu seperti datang tofan bakilat-kilat dan

bunyi senjatanya diupamakan guruh dari atas langit dan asapnya

senjata itu menjadi awan antara langit dan bumi. Dan parangnya

itu daripada waktu duha sehingga datang kepada waktu asar .

Hatta dengan ajal Allah, maka baginda kiyaicili pun syahid. Dan

daripada orang luka dan mati itu tiada kuceriterakan, daripada

ajal itulah meneguhkan hati manusyia serta memberikan

kesudahannya. Ada pun dalam angkatan kafir itu pun demikian

juga luka dan mati, lalu undurlah keduanya angkatan itu. Islam

pun dukacitta hatinya dan Nasrani pun demikian lagi. Masingmasing

pulang kepada tempatnya. Itulah hal parang sabil Allah.

Alkissah dan kuceriterakan johan pahlawan Tahalele ke tanah

Bandan*minta tolong kepada agama rasul Allah salla 'llahu alaihi

wa-sallama. Maka negeri Bandan* sekalian keluar angkatan ke

tanah Hitu. Entah berapa aluannya, tetapi penghulu yang besar

dalam angkatan itu pertama kapitan Falat, kedua kapitan Atijauh,

ketiga orangkaya Watimena dan raja Rosengaing*. Hatta berapa

lamanya datangnya itu dan negeri Hitu pun keluar angkatan serta

dia bersama-sama mendatangi kafir laknat itu dan kafir itu pun

keluar angkatan. Hatta terbit fajar kepada bakda subuh keluarlah

kedua pihak angkatan itu berlawanlah dan bunyi senjata itu tiada

dapat dikatakan. Asapnya itu menjadi awan menudung kepada

kedua angkatan itu tiada berkenalan. Hatta hilang awan itu, maka

dilanggar sebuah kapal, lalu patah parang kafir itu dan angkatan

Islam itu kembali serta kemenangannya, makan-minum bersukasukaan.

Kemudian daripada itu pergi alah kepada negeri,

Tuhahan* namanya, maka ia kembali ke negeri Hitu. Hatta datang

musim, lalu pulang ke tanah Bandan. Kemudian daripada itu

datang pula angkatan itu ke tanah Hitu, tetapi tiada masyhur

parangnya itu. Sehingga datang musim ia pulang. Itulah

kesudahan tanah Bandan* datang ke tanah Hitu tolong kepada

agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama. Alkissah dan

kuceriterakan oleh yang empunya ceritera sekali perastawa orang

Hitu keluar dengan kelengkapannya. Dan angkatan Ferangi pun

keluar sama bertemu di pantai Kota Laha, maka melawanlah

kedua angkatan itu. Pada mati dan luka itu tiada dikira-kirakan

lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan kehendak Allah ta`ala

sebuah kelengkapan Islam, hulubalang Pati Lihat namanya,

tebakar oleh api obat bedil sendirinya. Maka didapat oleh kafir

laknat itu, lalu undurlah kelengkapan Islam itu kembali dengan

dukkacittanya. Ada pun pada ketika itu ada juga suruan pangeran.

Ia membuat kota di pantai sebelah berhadapan kota Ferangi. Itu

pun tiada juga jadi kota, itu bukan dialah oleh Ferangi, ia

meninggal sendirinya pulang ke negeri Hitu. Hatta lama dengan

lamanya sebagai juga tiada berputusan parang sabil Allah. Segali

perastawa keluar angkatan kafir laknat itu serta orang Tidore dan

orang Buru mendatangi di negeri Hitu dan orang Hitu pun harkat

menanti di pantai. Hatta datang angkatan itu lalu turun, maka

hulubalang Ulu Ahutan ia becakap di hadapan orang sekalian:

Jangan dahulu orang keluar, biarlah aku sendiri keluar dahulu.

Apabila tiada patah orang itu, tuhan-tuhan sekalian keluar.’ Lalu

ia bertempik ke dalam tentara kafir itu serta menettak, maka

patah parang laknat itu. Masing-masing lari terjung ke dalam air

berenang kepada tempatnya sehingga hulubalang Sulaiman:

maka ia tiada paling mukanya, maka ia bertankis-tankisan dengan

perisainya serta undur datang kepada air sehingga lututnya, lalu

naik kepada kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Tellah

demikian itu dan kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha

Rubohongi ia pulang ke rahmat Allah meninggalkan negeri fanah

datang kepada negeri yang baka. Maka dihabarkan orang kepada

kafir laknat itu, lalu ia keluar angkatan. Kehendak kafir itu

menggagahi akan mayit bendahara itu, tetapi tiada dapat lagi,

sebab sudah dipindahkan ke Tanah Besar. Lalu ia menyerrang

kepada negeri Hitu. Tatkala itu sekalian hulubalang serta

pendagar semuanya tiada, sehingga Jumat pahlawan al-Din ada,

tetapi ia dalam uzur. Maka pada ketika itulah perdana Kapitan

Hitu memagang senjata, ia masuk parang kepada tentara kafir itu.

Hatta seketika juga patah parang kafir laknat itu, lalu naik kepada

kelengkapannya pulang ke Kota Laha. Itulah parang sabil di tanah

Ambon, sungguh pun disubut tanah Ambon, tetapi tanah Hitu juga

parang siang dan malam tiada berputusan. Kadang-kadang Tanah

Besar masuk kepada parang. Sebab itulah maka dikatakan tanah

Hitu di belakang perisyai dan Tanah Besar di dalam perisyai.

Karena tatkala zaman parang itu hulubalang dan pendagar ada

semuhanya -- pertama Ulu Ahutan, kedua hulubalang Hasan Pati,

ketiga hulubalang Hatib Tunsulu,keempat Pati Baraim, kelima

Umar pendagar, keenam Mahir pendagar, ketujuh pendagar

Nahoda, kedualapan pendagar Nasiela -- hulubalang yang

termasyhur dalam tanah Hitu. Lain daripada itu tiada kusubutkan

melainkan Jumat, pahlawan al-Din. Ialah yang termasyhur

pendagarnya dan terlalu amat gagahnya daripada sekalian. Itulah

sangat parang sabil Allah di tanah Hitu. Dan kuceriterakan

hulubalang kafir laknat itu pertama Don Duarde, kedua kapitan

Sanco*, ketiga Paulo Kastanya dan Dan Tamura dan

Dirgurumaridisi dan Siku Kisua dan Don Disera* dan Fernando

Melo* dan Antoni Laliru. Lain daripada itu tiada kuceriterakan,

sehingga inilah dimasyhurkan sangat parang kafir di tanah

Ambon. Tatkala pada zaman itu alah menang sama kedua pihak

itu. Kuceriterakan menang Islam kepada kafir itu: sekali alah

sebuah kapal di tanah Bandan, kedua sebuah di pantai Hitu dan

ketiga sebuah serta angkatan Bandan* dan keempat langgar

kepada pinsu* dan kelima langgar kepada antonibot*. Lain

daripada itu tiada kuceriterakan. Dan menang kafir kepada Islam

pun demikian lagi, karena parang sabil di tanah Ambon itu tujuh

puluh tahun daripada parang Don Duarde sehingga datang parang

Antoni Furtado*. Tatkala belum lagi datang Furtado itu, maka

datang sebuah kapal Wolanda. Ia masuk ke Hitu, maka orang Hitu

tanya kepadanya:‘Darimana datangmu dan apah nama negerimu?’

Maka ia menyahut: ‘Kami datang dari negeri Hollandes* dan nama

raja kami “Paringsi*”.’ Maka kata orang Hitu: ‘Bolehkah kami

minta armada tolong kepada kami?’ Maka kata orang itu:

Mengapah maka tiada boleh? Boleh juga, tetapi menyuruh sampai

kepada Prings* dan orang besar2 di negeri Holanda* supaya

boleh dengar kepada dia empunya pekatahan, bolehkah atau

tiadakah.’ Maka kata keempat perdana: ‘Jika bagai kata demikian

itu,sampaikan dahulu kami punya pekatahan ini. Bagaimana

kehendaknya Prings dan orang besar2, atau kamikah datang ke

sana atau menyuruhkah datang ke mari?’Serta dengan kiriman

tanda alamat tanah Ambon, lalu ia belayar pulang ke negeri

Holandes menyampaikan katahan itu kepada orang besar2 dari

negeri Holandes. Hatta datang musim barat kapitan amiral

Kurnilis* [dan] Istin Warhaga* pun datang. Maka ia berhadapan

kata serta keempat perdana dan berjanjian apah upahan dan

berputusan barang kerja: apabila barang sesuatu perbuatan, jika

salah kepada adat jangan dikerjakan kepada dua kaum itu. Dan

diperjanjikan upahan: apabila alah kepada kotanya, maka orang

Hitu bayar empat ratus bahara kepada Wolanda. Ada pun kotanya

dan senjatanya dan orangnya hitam itu kepada orang Hitu, dan

orang putih itu kepada orang Wolanda. Apabila alah kepada kapal,

maka bayar empat puluh bahara. Kapal serta senjatanya dan

orang putih kepada Wolanda, orang hitam kepada orang Hitu.

Tellah demikian itu, lalu masuk ke Kotah Laha periksai kepada

kotah Feranggi itu. Maka ia pulang, lalu belayar ke negeri

Wolanda menyampaikan berjanjian berputusan kata sekalian itu

kepada Prings vin Nyuranye* dan orang besar2 dalam negeri

Murucisa*. Dan enam orang dinamai ‘graf*’, yakni syaudagar

yang besar lagi artawan, termasyhur dalam negeri Wolanda, ialah

empunya kapal syaudagar yang datang ke tanah bawah hangin

ini. Dan kuceriterakan yang empunya ceritera. Kemudian daripada

kapal belayar itu, maka kapitan Peranggi menyuruh kepada

keempat perdana, demikian katanya: ‘Marilah kita bedamai dan

bebaikan dunia tanah Ambon.’ Tetapi keempat perdana tiada mau,

karena ia ingat kepada perjanjian dengan amiral Istiwin

Warhaga* itu. Daripada tiada mau mengubah janjinya, lalu

peranglah kedua pihak itu tiada berputusan sehingga datang

Furtado. Itulah halnya orang berjanjian. Alkissah peri

mengatakan datang Furtado. Ada pun tatkala datang Furtado

serta kelengkapannya, lalu ia mendatangi negeri Hitu. Dan negeri

Hitu pun pinda ke gunung Pinau*, maka ia naik barparanglah di

sana. Hatta berapa lamanya alah gunung itu,maka negeri sekalian

takluk kepadanya. Lalu dibawah kepada perdana Tubanbesi dan

orangkaya Patiwani kepada kafir laknat itu, sehingga keempat

perdana juga pinda ke Tanah Besar. Maka kafir itu mendatangi

negeri Luhu dan Lasidi*, Kambelo itu pun alah juga semuanya.

Lalu ia mendatangi negeri Iwa* dan orang Iwa* pun keluar

berparang dia.Hatta seketika juga patah parang kafir, sebab

dilontar dengan batu oleh negeri itu kennah kepala kapitan

Furtado, lalu undur pulang ke Kota Laha. Demikianlah parang

Antoni Furtado* di tanah Ambon sehinggalah perangnya. Maka

kuceriterakan keempat perdana pinda ke Tanah Besar itu, dan

perdana Tanihitumesen ia duduk di negeri Anin dan perdana Pati

Tuban ia duduk di negeri Waibuti dan perdana Nusatapi ia duduk

di Gamusungi, yakni negeri Luhu. Maka Kapitan Hitu naik kepada

sebuah perau pergi mencari bantu sehingga ke Seran. Maka

bertemu dua buah kapal Wolanda dan ditanya kepadanya: ‘Mana

kapitan-mor*?’ Maka ia menyahut: ‘Kapitan-mor ada di tanah

Bandan.’ Lalu Kapitan Hitu belayar ke tanah Bandan, maka ia

bertemu dengan kapitan Wolanda itu dan keduanya berhadapan

kata dan bicara. Maka dinaikan empat orang mengikut kapitanmor

itu, lalu belayar dan Kapitan Hitu pun pulang ke tanah

Ambon. Hatta datang musim barat, datang pula sebuah kapal ke

tanah Ambon kepada empat perdana. Maka keempat perdana

menyuruh kepada Mihirjiguna ibn Kapitan Hitu dan mardan Sibori

ibn Tubanbesi keduanya naik kepada kapal itu mendapatkan

angkatan. Hatta datang ke tanah Jawah, maka ia menanti

sehingga datang sama negeri Banten. Hatta berapa lamanya

angkatan pun datang, maka Mihirjiguna dan mardan Sibori

bertanya kepada angkatan itu, demikian katanya: ‘Darimana

angkatan ini dan siapa empunya angkatan ini?’ Maka ia

menyahut: ‘Ada pun angkatan ini angkatan Wolanda, keluar dari

negeri Murucisa* dan empunya angkatan ini Prings van

Nyuranye* dan penghulu dalam angkatan ini amiral Matelif* dan

Istiwin Warhaga*.’ Maka kata Mihirjiguna: ‘Endak ke mana?’ Maka

ia menyahut: ‘Mencari kepada musuh kami, Portugal namanya.’

Maka kata pula Mihirjiguna dan mardan Sibori: ‘Marilah sama kita

ke tanah Ambon, karena musuh itu ada di tanah Ambon.’ Maka

menyahut menyahut pula kata Mihirjiguna itu: ‘Apabila jika

dengan faedahnya, maka kami bersama-sama ke tanah Ambon.’

Lalu Mihirjiguna keluarkan surat perjanjian itu kepada amiral

Matelif*dan Istiwin Warhaga*. Maka dibaca surat itu, lalu ia diam

dirinya. Ada pun bunyi dalam surat itu, demikian buninya:

Apabila alah kotanya itu, maka kami beri empat ratus bahara

cengkeh. Ada pun kotanya serta senjatanya kepada orang Hitu

dan orangnya hitam itu pulang kepada hitam dan orangnya putih

itu pulang kepada putih. Apabila jika alah kepada kapalnya, maka

beri empat puluh bahara. Ada pun kapalnya serta senjatanya

kepada Wolanda dan orang putih serta kapalnya, dan orang hitam

kepada orang Hitu dan artanya itu bahagi dua.’ Telah demikian

itu, hatta datang kepada hari dan ketika yang baik, lalu belayar

serta Mihirjiguna dan mardan Sibori ke tanah Ambon, lalu masuk

kepada labuan kota Feranggi itu. Hatta datang itu, maka kapitan

Feranggi menyuruh datang tanya kepadanya,demikian katanya:

Darimana angkatan ini?’ Maka ia menyahut: ‘Angkatan ini dari

negeri Wolanda.’ Lalu katanya kepada kapitan Feranggi itu:

Keluar engkau dari tanah ini.’ Maka kata kapitan Feranggi itu:

Mengapah maka kata demikian? Karena kami empunya negeri ini,

mengapah maka kami keluar dari tanah ini?’ Maka kata

amiral:‘Bukan engkau empunya tanah, karena tanah ini ada yang

empunya. Sudah ia berikan kepada kami dan ia pun ada pada

kami.’ Lalu dikeluarkan kepada Mihirjiguna dan mardan Sibori di

hadapan, lalu diam kapitan Feranggi itu tiada berkata-kata lagi.

Hatta datang pagi hari dikeluarkan anak kunci itu diserahkan

kepada tangan amiral, lalu keluar duduk di luar. Maka diberinya

perau, lalu ia belayar pulang ke negerinya. Tellah demikian itu

maka kata amiral Kurnilis Matelif* dan Istiwin Warhaga* kepada

Kapitan Hitu dan keempat perdana: ‘Betapa kota ini?’ Maka kata

Kapitan Hitu serta orangkaya-kaya: ‘Baik juga kita rusakkan kota

ini buan ke laut.’ Maka kata amiral dan Istiwin Warhaga*: ‘Bennar

juga kata itu, tetapi kita mengambil kota ini seperti kita

mengambil isteri orang. Apabila datang cari kepada isterinya,

bagaimana tempat kita jawab kepadanya? Ada pun tempat kita itu

melainkan dengan kota, maka kita melawan dengan dia.’ Maka

kata Kapitan Hitu dan keempat perdana: ‘Jika bagai kata amiral

itu, baiklah Wolanda duduk kepada kota itu, tetapi barang kerja

kota atas orang hitam. Itulah kerjakan dia, ada pun orang

Wolanda sehingga perintahkan dan mengaraskan.’ Maka kata

amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Diiakanlah jika bagai kata

demikian itu.’Lalu dinaikan Firdirik Hutman* gurendur di kota

Ambon. Maka amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga* pulang serta

angkatannya menyampaikan khabar kepada Frings* dan orang

besar2 dalam negeri Wolanda. Hatta datang musim barat, datang

pula angkatan itu ke tanah Hitu, masuk ke Kota Laha. Maka

datang baginda cili Ali dan gimelaha Aja dan hamba raja Ambalau

minta kepada amiral, demikian katanya: ‘Tellah sudah selamat

tanah Ambon daripada bahaya. Marilah kita ke Maluku tolong

kepada negeri Ternate.’ Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin

Warhaga* menyahut amiral keduanya: ‘Jika dengan manfaatnya

maka kami mau ke Maluku.’ Maka kata baginda cili Ali dan

gimelaha Aja: ‘Apatah lagi manfaat? Karena Kapitan Hitu

mengatakan upahan itu kami semuanya di situ.’ Maka kata amiral:

Yang tellah sudah itu apa betapa disubut lagi?’ Maka kata kiyaicili

dan gimelaha: ‘Jika bagai kata demikian itu, apatah kehendak

amiral itu? Katakanlah, supaya kami dengar.’ Maka kata amiral

Matelif* dan Istiwin Warhaga*: ‘Berilah hasil tiga negeri itu

kepada kami, maka kami mau ke Ternate.’ Maka kata kiyaicili Ali

dan gimelaha dan hamba raja:‘Mana tiga negeri itu?’ Maka kata

amiral: ‘Negeri Luhu dan Lesidi dan Kambelo, tiga buah negeri itu

kami minta.’ Maka gimelaha dan kiyaicili tiada mau kepadanya

dan amiral pun endak juga kepadanya. Lalu kata gimelaha dan

kiyaicili: ‘Marilah kita pulang dahulu, esok hari maka kita berkatakata’,

lalu pulang. Maka menyuruh panggil kepada kapitan serta

keempat perdana Hitu, maka kata baginda cili Ali kepada gimelaha

dan orangkaya-kaya semuanya: ‘Apa tipu kita karena negeri

Ternate dalam kesukaran?’ Maka ia saat*: ‘Endak kepada hasil

tiga buah negeri itu, maka kita berilah salah, tiada beri salah. Apa

tipu kita sekarang ini?’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Ada pun sudah

rusak negeri Ternate serta dengan arta isi rumahnya habis

dirampas oleh kafir itu. Moga2 dengan kehendak Allah ta`ala dan

berkat agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama, maka

kembali negeri Ternate serta dengan kerajaan. Dari mana akan

datang ganti isi astanah raja? Karena rakyat sekalian wa-'llahu

a`lam dalam kesukaran, melainkan hasil datang dari tanah

Ambon. Pada ketika itu, apabila kembali rayat semuanya dan

negeri Ternate pun tettap, sudah tiada kurang kepada hasil masuk

negeri Ternate kepada hari yang kemudian itu.’ Lalu berkata:

Apabila angkatan itu ia mau tolong kepada negeri Ternate, insya

Allah, itu upahnya atas tanah Hitu.’ Tellah demikian itu maka

gimelaha dan kiyaicili katakan kepada amiral Kurnilis Matelif* dan

Istiwin Warhaga* dan kapitan sekalian dalam angkatan itu. Maka

kata Kapitan Hitu, maka diiakanlah kapitan sekalian itu. Dan

Kapitan Hitu pun becakaplah di hadapan orang sekalian itu. Lalu

kata amiral: ‘Berilah anak Kapitan Hitu ikut kepada kami supaya

kami sampaikan kepada Prings dan orang besar di negeri

Wolanda.’ Maka diberikan anak Kapitan Hitu, Unus Halaene

namanya, ia mengikut kepada amiral belayar ke Maluku, sehingga

datang ke Ternate. Maka didirikan kota di negeri Melayu. Maka

sekalian rakyat pun kembali ke negeri Ternate dan dinaikan serri

sulthan paduka Mudafar ibn Sa`id al-Din syah, lil* Allah [fi] 'l-

`alamin akan kerajaan dan diturunkan gurendur serta soldadunya

duduk menunggu kota. Lalu belayar angkatan itu membawah

kepada Unus Halaene ibn Kapitan Hitu dan anak raja Nusaniwe

dan anak orangkaya Lakatua dan anak orangkaya Natahuat* ke

negeri Wolanda. Dan kuceriterakan tatkala gurendur Hutman* itu,

maka datang amiral, Simon Hun* namanya, serta

kelengkapannya. Ia itu banyak kasihnya akan artanya kepada

orang serta dengan empenak supaya menjadi jinak sekalian orang

Ambon. Kemudian daripada ia itu maka datang pula amiral, Piter

Bot* namanya,mengantarkan kepada Unus Halaene. Iapun

demikian juga murahnya dan pada ketika itu gurendur Hutman*

pun belayar karena lamanya gurendur Hutman* enam tahun ia

duduk. Maka dinaikan Yangseper Yangsi* akan gurendur sehingga

tiga tahun. Tatkala itu datang jeneral, Gerat Rangsi* namanya. Ia

datang dari Betawih, lalu ke Maluku, dari Maluku datang ke

Ambon, lalu ke Bandan, dari Bandan* datang ke Ambon pula.

Pada zaman itu negeri Luhu dan Kambelo menerima kepada orang

Ingeris, ia duduk di negeri Kambelo. Maka gurendur Yangseper

Yangsi* menyuruh serta kelengkapannya masuk ke pantai

Kambelo suruhnya Ingeris itu keluar, ia tiada mau. Maka kedua

pihak sama petuguhnya, pasang-memasang, tembak-menembak

kedua kaum itu. Hatta berapa lamanya, maka datang jeneral

Gerat Rengsi* dan perdana Kapitan Hitu menyuruh kepada

gimelaha Syabidin*, karena gimelaha itu mangkubumi di tanah

Ambon, daripada itulah menyuruh periksai kepadanya. Maka kata

gimelaha Syabidin: ‘Mengapa maka tanya kepada beta lagi?

Karena beta sudah keluarkan dia dari negeri Luhu. Maka sekarang

ini ia duduk di negeri Kambelo, tiada beta mengetahui duduknya

itu. Mana kehendak jeneral itu kerjakan, tetapi serta adil kepada

jeneral, karena tempat duduk Ingeris itu tanah raja Ternate dan

negeri Kambelo itu pun rakyat raja Ternate. Itulah beta taksirkan

dahulu. ’Tellah demikian itu, maka jeneral Gerat Rangsi dan

gurendur Yangseper Yangsi* menyuruh memagang senjata endak

melanggar kepada negeri Kambelo. Maka kata perdana Kapitan

Hitu kepada jeneral dan gurendur: ‘Sabar dahulu, supaya kami

menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo. Apabila

ia mengikut, al-hamdu li-'llah, bebaikan kita serta dia. Jika tiada

mengikut, apatah dayah, lepas taksir kita.’ Maka diiakanlah

jeneral dan gurendur kata Kapitan Hitu demikian itu, lalu

menyuruh kepada orangkaya-kaya dalam negeri Kambelo kata

yang kebaikan dan kebenaran. Maka mengikutlah ia, lalu pindah

ke pantai Eran* dan orang Wolanda pun masuk ke dalam negeri

itu dan orang Inggeris pun keluar naik kepada kapalnya, lalu

belayar pulang ke negerinya.Maka jeneral dan gurendur pulang ke

Kota Laha. Maka dinaikan Aren Bulok* akan gurendur ganti

kepada Yangseper Yangsi*, lalu ia belayar pulang ke Betawih dan

gurendur Aren Bulok* duduk di kota Ambon. Pada ketika itu ada

suatu fitna, maka berparanglah dengan negeri Nasrani yang

takluk kepadanya itu, Leitimol* namanya. Hatta berapa lamanya,

maka Kapitan Hitu bedamaikan dia, maka suatupun tiada fitna

dalamnya. Hatta lama dengan lamanya sehingga datang kepada

tahunnya, lalu ia pulang dan dinaikan Herman Aspel* akan

gurendur ganti kepada Aren Bulok*. Alkissah peri mengatakan

tatkala Herman Aspel* ia akan gurendur itu, maka kedua kaum

muafakat serta bersakutu bandar Wolanda dan Inggeris itu, maka

suatupun tiada hisab* lagi. Hatta berapa lamanya serta dengan

kehendak Allah ta`ala datang suatu bala Allah.Orang Inggeris dan

Jupun endak tipu kepada Wolanda, serta kotanya maka diketahui

oleh Wolanda, lalu dibunuh kepada Inggeris dan Jupun semuanya,

karena gurendur itu itu sangat bengis. Daripada ia memulai

parang di tanah Ambon. Pertama berkellahi dengan negeri

Hutumuri, kedua berkellahi dengan negeri Lesibata, ia serta

gimelaha Syabidin mengalah kepada negeri itu. Maka Kapitan Hitu

bawah kepada kipati Lesibata, ia bedamai dengan gurendur.

Segali perastawa tanah Ambon semuanya serta gimelaha

berbantahkan harga cengkeh, tawar-menawar dengan orang

Wolanda. Demikian kata gimelaha dan orangkaya-kaya sekalian:

Minta seratus harga sebahara.’ Maka kata gurendur: ‘Enam puluh

harga sebahara.’ Maka kata orangkaya-kaya: ‘Berilah delapan

puluh.’ Maka kata gurendur: ‘Betapa kami disamakan dengan

Inggeris, karena ia tiada hilang belanjanya. Mengapah maka ia

disamakan kami, karena kami banyak belanja hilang kepada

soldadu dan marinero* membuat kota. Mengapah maka minta

delapan puluh daripada kami banyak arta keluar?’ Maka kata

orang Ambon: ‘Mengapa maka gurendur kata demikian? Karena

gurendur banyak arta hilang itu ada dengan hasilnya. Mengapa

maka kata demikian itu?’ Lalu orang Ambon tiada keluarkan

cengkeh, maka jadi fitna, endak berkellai kedua pihak itu. Maka

kata Kapitan Hitu kepada kedua pihak itu: ‘Apa kerja berkellai?

Baik juga gurendur menyuruh belayar ke Betawih kepada jeneral

menyampaikan kata orangkaya-kaya itu. Dan apa kata jeneral itu,

maka gurendur dan menyuruh kepada paduka seri sultan di

Ternate. Betapah kehendak titah itu, maka kita lakukan bagai

titah itu.’ Lalu ia menyuruh ke Ternate dan menyuruh ke Betawih.

Hatta datang musim barat maka maka datang kapitan Warhaga,

surat dari Betawih dan titah dari Ternate pun datang. Maka

semuhanya dengan Wolanda pun berhimpun di pantai Luhu

memutuskan harga cengkeh itu. Karena surat dari Betawih

demikian katanya: ‘Ada pun kepada bicara yang lain, baik dan

jahat, seperti membuat kota atau berkellai atau kurang kuasa

barang sesuatu, maka atas kepada jeneral. Jikalau kepada

benyagah Ambon itu atas kepada gurendur dan fetor* semuhanya

di tanah Ambon.’ Itulah kesudahannya. Ada pun daripada titah

seri sultan di Maluku demikian bunyinya: ‘Bahwa sesungguhnya

tanah Ambon itu takluk kepadaku, tetapi kepada artanya itu mana

kehendaknya tiada kepadaku, karena benyagaan itu sama sukah

keduanya.’ Itulah kesudahannya daripada titah. Maka kata orang

sekalian: ‘Jika bagai kata titah keduanya itu, atas kepada

gimelaha dan gurendur memutuskan harga cengkeh ini.’ Maka

kata gurendur: ‘Bukan aku, atas kepada fetor semuhanya.’ Maka

kata fetor kepada orangkaya gimelaha: ‘Betapa harga cengkeh

ini?’ Maka kata orangkaya gimelaha: ‘Bukan aku empunya

cengkeh. Yang empunya cengkeh itu orangkaya-kaya sekalian di

tanah Ambon.’ Lalu kata orangkaya-kaya: ‘Berilah tengah delapan

puluh.’ Maka kata fetor: ‘Tengah tujuh puluh.’ Maka kata

gimelaha: ‘Berilah tujuh puluh.’ Maka fetor pun mau dan

orangkaya-kaya sekalian pun mengikut kata gimelaha itu, tujuh

puluh harga sebahara cengkeh. Kemudian kata gurendur: ‘Sudah

putus tujuh puluh, tetapi beta minta kepada orangkaya gimelaha

dan orangkaya-kaya semuhanya enam puluh tujuh. Tiga real itu

akan harga siri pinang soldadu.’ Maka diiakanlah orangkaya-kaya

semuhanya kepada kata gurendur itu enam puluh tujuh real.

Itulah keputusan harga ce

ngkeh dan negeri sekalian pun keluar cengkeh timbang kepada

fetor. Tellah demikian hatta datang kepada tahun yang lain,

datang utusan dari Ternate minta bantu kepada gurendur, karena

banyak datang Kastila ke Tidore. Tatkala itu jeneral Lurinsu Riyal*

dan amiral Astiwin Warhaga* pun datang serta kelengkapannya

delapan buah kapal. Maka disampaikan surat itu kepadanya, maka

kata jeneral: ‘Ada pun beta ini endak ke Bandan, tetapi surat dari

raja dan gurendur dari Ternate minta bantu ke sana. Maka betapa

tipu orangkaya-kaya semuhanya kepada titah itu. Jikalau mau,

beta minta kepada orangkaya-kaya sekalian keluarkan tujuh real

upamakan harga makanan soldadu. ’Maka diiakanlah orangkaya

sekalian tanah Ambon serta dengan janjinya, demikian katanya:

Enam puluh pada harga sebahara cengkeh itu, sehingga dalam

berkellai ini. Apabila alah kepada Kastila dan Tidore atau bedamai

dengan dia, maka cengkeh itu hargakan lagi atau kurang lagi

daripada enam puluh itu atau lebihkan lagi daripada enam puluh

itu.’ Maka diiakanlah oleh kedua pihak itu serta disuratkan dalam

kertas tatkala disuratkan itu di pantai Gamusungi di hadapan

jeneral dan amiral dan perawara sekalian daripada pihak Nasrani

dan hadapan mengkubumi gimelaha Syabidin dan perdana

sekalian perwara di tanah Ambon serta Kapitan Hitu daripada

pihak Islam itu, lalu jeneral belayar ke Maluku tolong kepada

negeri Ternate. Itulah kesudahan harga cengkeh pada ketika itu.

Maka suatupun tiada lagi fitna pada kedua pihak itu karena sudah

keputusan kata yang baik dan jahat. Tetapi daripada ia endak

kejahatan itu, maka ia membuat suatu fitna kepada sengaji*

Boano, karena fitna itu tiada subut lagi, yakni sudah di luar

perjanjian. Alkissah peri mengatakan tatkala gurendur keluar

dengan angkatan. Ia datang tanya kepada perdana gimelaha,

demikian katanya: ‘Betapa perbuatan sengaji Boano demikian

itu?’ Maka kata perdana gimelaha: ‘Ada pun perbuatan sengaji itu

kami tiada mengetahui kepadanya. Melainkan dengan adil

gurendur, karena tanah Boano itu tanah raja dan orang itu pun

rakyat raja Ternate. Itulah kita taksirkan kepada gurendur.’ Lalu

gurendur serta angkatannya mendatangi negeri Boano, maka kata

Kapitan Hitu kepada gurendur: ‘Ada pun gimelaha itu tiada

bicarakan, sehingga ditaksirkan juga. Maka beta minta kepada

gurendur sabar ahulu, beta menyuruh kata kepada sengaji.

Jikalau mau keluar, beta damaikan dia dengan gurendur; apabila

jika ia tiada mau, apahtah daya? Lapas taksir kita kepada sengaji

dan orangkaya-kaya dalam negeri Boano.’ Tellah demikian itu,

lalu menyuruh kata kepada sengaji dan orangkaya semuhanya

keluar, maka Kapitan Hitu dan gurendur serta orangkaya sekalian

menghukumkan kedua pihak itu. Yang benar itu dibenarkan dan

yang salah itu disalahkan serta didamaikan kedua kaum itu

dengan kebajikan. Maka gurendur serta angkatannya pulang ke

Kota Laha dan Kapitan Hitu serta kelengkapannya pulang ke

negerinya. Maka suatupun tiada fitna lagi, melainkan melakukan

kebaikan dan kebenaran serta kesukaan dunia dan tiada mengirangirakan

hari yang kemudian,karena kesukaan dan keadaan itu

tiada berapa dalamnya. Tellah demikian itu datang johan

pahlawan gimelaha Hidayat. Alkissah peri mengatakan serta

kuceriterakan tatkala perdana gimelaha Hidayat keluar serta

angkatan datang ke tanah Ambon. Dan negeri sekalian pun

dengan kesukaannya serta dimulianya, karena ia perdana yang

besar dalam negeri Ternate, lagi johan pahlawan, lagi ia hukum

dalam negeri Ternate, lagi ia alim dan tiada orang besar tubuhnya

bagai dia dari Maluku sehingga datang ke Ambon, susunya bagai

susuh perempuan. Sungguhpun besar tubuhnya itu tetapi kuat. Ia

membuat ibadat, taat siang malam tiada berputusan

mengaraskan agama Islam. Ada pun pada tatkala itu barang

hukum daripada zaman yang tiada boleh putuskan orangkayakaya

sekalian di tanah Ambon itu, ialah memutuskan, daripada ia

mengatakan hukum itu serta dengan hukum Allah. Daripada itulah

termasyhur nama johan pahlawan hukum Hidayatullah di tanah

Ambon, upama terbit matahari cahayanya menarangkan yang

adanya. Tellah demikian itu, hatta berapa antaranya dengan

kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Syabidin pun uzur, yakni

sakit. Serta ajal Allah, maka wafatlah perdana gimelaha pulang ke

rahmat Allah. Maka pada ketika itu tanah Ambon dalam hukum

Hidayatullah. Kemudian daripada itu datang jeneral Pitir Eskun*

serta angkatan masuk ke Kota Laha. Maka Kapitan Hitu tanya

kepada jeneral: ‘Endak ke mana angkatan ini?’ Maka kata jeneral:

Endak ke Bandan* berkellai.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Apa tipu

kita kepada tanah Bandan? Karena tatkala kita berparang dengan

orang Feranggi ia tolong kepada kita. Maka sekarang ini kita

tolong dengan senjata tiada boleh. Sudah kita tolong dengan

makanan tiada sampai. Baiklah kita tolong kepadanya dengan

pekatahan.’ Lalu Kapitan Hitu naik kepada angkatan itu, tiada

pulang ke negerinya lagi, sehingga enam orang juga mengikut

dia. Kemudian anak orangkaya-kaya tiga puluh orang serta Unus

Halaene ibn Kapitan Hitu naik kepada kapal Inggeris ikut

belakangnya. Hatta datang angkatan itu antaranya laut Puluh

Suanggi* dan Gunung Api, maka didirikan tunggulnya sekalian

kapalnya itu serta bunyi tamburunya*, torompetanya* dan

himpunkan soldadu serta dengan senjatanya, maka masuk di

pantai Lontor. Ia belabu sehingga datang labuan Komber. Maka

kata Kapitan Hitu kepada jeneral: ‘Sabar dahulu, kita masuk

kepada orangkaya-kaya tanah Bandan, tanya kepadanya maukah

bedamai atau tiada maukah.’ Maka kata jeneral: ‘Bukan kami

minta bedamai, kami endak berkellai juga. Tetapi daripada

kehendak Kapitan Hitu demikian itu, kita ikutlah.’ Maka Kapitan

Hitu naik, lalu masuk kepada negeri Salamah berhadapan serta

orangkaya-kaya tanah Bandan* semuhanya. Lalu ia berkata

kepada orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Ada pun beta ini

bukan disuruh oleh jeneral. Daripada beta ingat tanah Bandan*

dan tanah Hitu daripada zaman dahulukala. Maka beta tolong

dengan makanan tiada boleh. Maka sekarang ini kita tolong

dengan senjata tiada boleh, melainkan suatu kata kami minta

kepada orangkaya-kaya, jika boleh. Apabila jika tiada boleh,

apahta daya? Karena pekerjaan itu pekerjaan yang benar, tiada

dapat kita tegah kepada perbuatan itu, tetapi ihtiar dahulu

kepada budi akal kita, supaya jangan menyasal kepada hari yang

kemudian. Daripada itulah periksai kepada orangkaya-kaya empat

perkara ini, sudahkah lengkap atau bulum lagikah.’ Maka kata

orangkaya-kaya kepada Kapitan Hitu: ‘Apa2 empat perkara itu?’

Maka kata Kapitan Hitu: ‘Ada pun empat perkara itu, pertama

negeri, kedua senjata, ketiga manusyia, keempat makanan.

Apabila jika sudah lengkap, apatah lagi dinantikan? Jika kurang

lagi suatu perkara daripada empat itu,bebaikan dahulu dengan

dia, supaya ia pulang. Kita pun lengkapkan kepada empat perkara

itu.’ Maka kata orangkaya-kaya tanah Bandan* kepada Kapitan

Hitu: ‘Baiklah, pulang dahulu, supaya kami himpunkan orang

sekalian. Dalam dua hari, apabila di mana kami bedirikan tunggul

putih, di sanalah kami menanti, maka orangkaya datang di sana.’

Tellah kata demikian itu, lalu Kapitan Hitu pulang ke kapal. Pada

malam itu datang seorang daripada negeri Bandan. Ia masuk

kepada Wolanda, maka ia berkata kepada jeneral: ‘Kita dengar

orang Bandan* bicara dalam negeri: “Kita berhimpunkan orang

serta senjata menanti di pantai. Apabila jika datang Kapitan Hitu

dan Wolanda itu kita pagang semuhanya. Kemudian apa2 barang

kehendak kita itu katakan kepadanya”.’ Tellah demikian itu maka

kata jeneral kepada Kapitan Hitu: ‘Jika bagai kata ini, jangan lagi

Kapitan Hitu turun ke darat, karena perbuatan ini sudah ia

membunuh kepada kami orang banyak.’ Maka kata Kapitan Hitu

ialah kata jeneral itu: ‘Kita tiada turun kepadanya, tetapi kita

menyuruh juga kepadanya menyampaikan perjanjian kita itu,

jangan kata kita dibebohonkan, artinya dusta, supaya kita dengar

apa kehendaknya itu, maukah atau tiadakah.’ Hatta datang

kepada janjinya, didirikan tunggul putih di pantai, maka dilihat

oleh Kapitan Hitu dari kapal, lalu menyuruh turun kepada orang

itu. Maka ia tanya: ‘Mana Kapitan Hitu?’ Maka suruan itu

menyahut: ‘Ada pun Kapitan Hitu minta ampun daripada

orangkaya-kaya sekalian, ada sakit sedikit, maka tiada ia turun.

Tetapi apa kehendak orangkaya-kaya katakan juga kepada kami,

maka kami katakan kepada orangkaya Kapitan Hitu dengan

jeneral.’ Maka kata orangkaya-kaya semuhanya: ‘Katakan kepada

Kapitan Hitu, benar juga orangkaya kata kepada empat perkara

itu, tetapi kami parang dengan Wolanda ini bukan sekarang.

Selamanya parang kami sahingilah* empat perkara itu, artinya

kata itu sudah lengkap karena perbuatan manusyia itu serta

dengan harkat. Tetapi kehendak Allah ta`ala itu siapa

mengetahui?’ Maka menyahut pula orang yang disuruh itu:

Daripada itulah maka dikira-kirakan. Jika bagai kata orangkayakaya

demikian itu, apatah lagi?’ Lalu pulang orang itu

menyampaikan kata itu kepada orangkaya Kapitan Hitu dan

jeneral. Maka kata Kapitan Hitu kepada jeneral: ‘Sudah lepas

taksir beta, mana kehendak jeneral itu?’ Maka kata jeneral:‘Esok

pagi kita naik cobah dahulu, supaya kita lihat perintah parangnya

itu, kemudian perintah parang kita.’ Hatta datang pagi hari

naiklah angkatan itu butul di hadapan negeri, maka orang

Bandan* pun keluar. Beramai-ramaian parang kedua pihak itu

daripada waktu duha sehingga datang asar tiada boleh alah. Lalu

undur Wolanda pulang ke kapalnya, maka jeneral menyuruh

panggil kepada orang besarnya serta panglimanya sekalian dalam

angkatan itu datang kepada jeneral, maka kata jeneral: ‘Betapa

perintah parang orang itu?’ Maka kata orang semuhanya:

Demikianlah parang orang itu.’ Maka kata jeneral: ‘Jika bagai

demikian itu betapa bicara kita sekarang?’ Maka kata orang

semuhanya: ‘Mana perintah jeneral itu kami kerjakan.’ Serta

dengan cakapnya orang semuhanya itu, lalu kata jeneral: ‘Jika

siyapa naik dahulu maka alah negeri itu, seribu real kuberi

kepadanya. Lain makanannya dan pakaiannya dan apa-apa

rampasan dalam orang banyak itu mana sukanya ia ambil dahulu.

Kemudian tinggalnya itu kepada orang sekalian.’ Maka seorang

kapitan, Pugel* namanya, ia becakap di hadapan jeneral dan

orang besar2 semuhanya, demikian katanya: ‘Beta naik dahulu,

jika tiada boleh alah negeri itu, beta pun tiada kembali.’ Lalu ia

berteguhan kata dengan jeneral, maka diberinya minum arak

pada tempat minuman prings. Itulah adat berteguhan janji

kepada orang itu. Tellah demikian, hatta datang malam, maka

diturunkan gurendur Hutman* akan kapitan. Ia naik dari belakang

negeri dan kapitan Pugel dan kapitan Kuluf* dan kapitan Gemala*

dan kapitan Jupun dan kapitan Siyau dan sekalian kapitan serta

orang banyak semuhanya naik dari laut di hadapan negeri. Hatta

terbit matahari, dipalu gendarang parang dan riuh serta bunyi

bedil seperti guruh di atas langit, dan orang Bandan* pun serta

dengan harkatnya. Maka kedua pihak berparanglah seperti orang

bepasarang beramai-ramaian, jual-beli, tukar-menukar. Tiada

habar kepada yang lain lagi sehingga sana berparang daripada

bakda subuh. Hatta datang bakda lohor serta dengan kehendak

Tuhan sarwa sekalian alam, maka Wolanda daripada kapitan

Hutman* ia naik dari belakang negeri, ia masuk ke dalam serta

bunyi bedil dan riuh dalam negeri. Maka patahlah parang Islam

itu, tiada boleh masuk ke dalam negeri lagi, lalu masuk ke negeri

Ander dan Waier, berhimpunlah di sana dan Wolanda pun duduk

di negeri Lontor. Maka sekalian kapitan serta orang banyak itu

pun pulang kepada kelengkapannya dan jeneral pun pekatahan

yang diperjanjikan kepada panglimanya itu semuhanya

dikerjakannya. Kemudian daripada itu, maka menyuruh tanya

kepada orangkaya-kaya tanah Bandan* sekalian, demikian

katanya: ‘Bukankah Kapitan Hitu endak damaikan kita kedua?

Daripada orangkaya-kaya tanah Bandan* tiada mau bebaikan,

maka kita berkellai. Ada pun kepada sekarang ini mana bicara

orangkaya-kaya kita dengar. Jika mau bedamai, marilah kita

bedamai; jika tiada mau bedamai, apahtah daya?’ Maka kata

orangkaya-kaya Bandan: ‘Yang tellah sudah itu jangan disubut

lagi. Jika kepada sekarang ini jeneral mau bebaikan, seribu kali

kami sukah.’ Lalu orangkaya-kaya keluar bedamai dengan dia,

maka kata jeneral: ‘Jika hati bennar mau bedamai, rubuhkan

kotamu dan berikan senjata yang adanya itu.’ Maka kata

orangkaya Bandan: ‘Tiada lagi pada kami, karena senjata itu

semuhanya dalam negeri itu juga.’ Maka kata Wolanda: ‘Barang

seadanya itu berikan kepada kami.’Maka diberikan dua puluh

esfangar* kepada Wolenda itu, maka suatupun tiada lagi fitna.

Lalu keluar bunga pala timbang kepada fetor, bennarnya dengan

dia. Kemudian daripada itu kata Mai Hasan ibn orangkaya Bulaisi

dan orangkaya Orotatan, demikian katanya kepada jeneral: ‘Ada

lagi bedil besar dalam negeri Bandan . Semuhanya itu minta serta

anak orangkaya-kaya empat puluh orang itu. Jika ia katanya tiada

lagi, kemudian beta tunjukan kepada orang yang menaruh dia

itu.’ Tellah demikian itu maka jeneral menyuruh panggil kepada

orangkaya semuhanya, lalu kata kepadanya bagai kata orang itu.

Maka orangkaya-kaya semuhanya tiada dapat besangkal lagi, lalu

dikeluarkan semuhanya serta anak orangkaya-kaya itu. Maka kata

jeneral: ‘Sekarang ini upama tulur hayam digulingkan dari tanah

Bandan* sampai ke tanah Wolanda: tiada boleh pecah lagi, itulah

tanda bebaikan. Maka sekarang ini kami endak belayar. Baik juga

orang semuhanya cerai-berai itu suruh pulang keruan kepada

tempatnya. Kemudian kami belayar supaya kami menyampaikan

kepada orang besar2 di negeri Wolanda pun dengan

kebenarannya.’ Maka disuruh oleh orangkaya-kaya panggil

kepadanya semuhanya datang ke negeri Salamu. Maka ditipu oleh

Wolanda, kuliling soldadu serta senjata, lalu dinaikan ke kapal,

semuhanya delapan ratus delapan puluh orang kepada kapal,

Dragon namanya, dan empat puluh orangkaya-kaya semuhanya

dibunuh oleh Wolanda itu. Lalu belayar ke tanah Ambon, datang

ke tanah Hitu, lalu ke Jawahkatra* dan orang Bandan* yang

tinggal itu semuhanya pindah ke tanah Seran dan Goron*. Maka

menyuruh datang mengadap kepada raja Mangkasar minta

pindahkan ke Mangkasar. Maka raja menyuruh angkatan ke Seran

memuatkan dia datang ke Mangkasar. Itulah hal alah tanah

Bandan. Maka jeneral serta angkatannya pulang ke negerinya dan

Kapitan Hitu pun pulang ke tanah Hitu. Itulah kesudahan berkellai

tanah Bandan. Alkissah dan kuceriterakan kemudian daripada

jeneral belayar membawah kepada orang Bandan* itu, maka

Mihirjiguna masuk mengadapat* perdana Kapitan Hitu. Maka ia

menyembah, lalu berkata: ‘Beta endak belayar ke Jawahkatra*.’

Maka kata Kapitan Hitu: ‘Apa kehendakmu belayar itu?’ Maka ia

menyahut: ‘Ada pun kita belayar ini tiada kehendak kepada yang

lain melainkan kubicarakan orang Bandan. Jika tiada boleh

kembali ke tanah Bandan* pun, sehingga tanah Ambon pun baik

juga jika dilapaskan oleh jeneral.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Jika

bagai kata demikian itu, belayarlah engkau.’ Lalu ia naik kepada

sebuah kapal, Delf namanya kapal itu. Hatta berapa lamanya

maka datang ke Jawahkatra*, maka Mihirjiguna naik ke darat

berhadapan dengan jeneral serta orang besarnya. Maka apa

kehendaknya Arinjiguna* itu semuhanya dikatakan kepada

jeneral pun terimalah kepada kehendak Mihirjiguna itu. Lalu kata

jeneral kepada Mihirjiguna: ‘Ada pun barang kehendakmu itu

kami terimalah, tetapi musim lagi lambat datang. Apabila datang

musim barat akan perginya pulang, kuserahkanlah kepadanya

yang kehendaknya itu.’ Lalu Mihirjiguna tanya kepada jeneral:

Kapal semuhanya itu endak ke mana?’ Maka kata jeneral: ‘Kapal

itu endak ke Malaka, ada ke Jambi, ada ke Laut Mera, ada pulang

ke negeri Holandes, ada ke bandar Masilpatani*.’ Maka kata

Mihirjiguna: ‘Beta minta kepada jeneral sementari lagi lambat

musim,lagi lambat musim, beta endak turut kapal yang ke bandar

Masilpatani*, mau melihat dunia tanah Keling barang seadanya

hidupku sehingga datang musim barat.’ Maka iakan oleh jeneral

dan diberinya seribu real akan bekalnya dan sangat mulliya

kepadanya serta kasih lain2 -- tiada dapat diceriterakan kepada

kasihnya itu --, lalu naik Mihirjiguna belayar. Hatta berapa

lamanya di tengah laut datang tofan angin ribut. Bunyi layar

seperti bunyi bedil, seketika lagi patah tiyang buritang itu. Hatta

terbit matahari,angin pun tedduh. Tellah demikian itu berapa

lamanya datang ke tanah Keling, kepada negeri Tunahpatnan.

Maka naik ke darat bejalan ke negeri Pujiciri*, menubus dengan

harganya dua real seorang, ada tengah tiga real. Ada menjual

dirinya sendiri, ada menjual anaknya. Tellah menubus itu, maka

belayar dari Pudiceri*, lalu kepada Tirubambu* dan

Tirumulawasir* dan Kunmuri*, lalu kepada Nagahpatan*.

Daripada Feranggi duduk dari situ, maka dinamai San* Tumi*.

Ada pun San* Tumi* itu ada suatu bukit, maka didirikan

gerejanya akan tempat berhalanya, Nona Sinyora di Mundi*

namanya. Di situlah tempat ia menyembah berhalanya itu.

Kemudian daripada itu maka belayar sehingga datang ke Palikat*.

Karena di situ ada kota Wolanda, ia berhenti entah berapa

lamanya. Lalu ia belayar ke bandar Masilpatani*, ia duduk kepada

rumah syaudagar haji Baba namanya. Di sanalah dimasyhurkan

namanya Mihirjiguna itu ‘sultan karanful*, kipati syah’. Di sanalah

ia melihat perhiasan dunia semuhanya lengkap, sehingga ibu

bapa kita yang bennar itu maka kita tiada bertemu. Lain daripada

itu tiada dapat diceriterakan kepada kelakuan yang indah2,

seperti perbuatan yang kegemaran kepada keelokan serta

keinginan hati manusyia. Dan kejahatan serta kebencian pun

demikian lagi, dan kesukaan dan kedukaan pun demikian lagi,

seperti orang kaya dan orang miskin, dan orang berumah dalam

tanah dan orang tiada berumah selama-lamanya, dan orang

membuang segala najis manusyia dalam negeri itu. Dan

dikerjakan hamam*, ada air sejuk dan air panas kepada suatu

tempat harkat kepada segala manusyia. Apabila datang pagi hari,

maka mandi kepada air yang panas itu, jika datang tengah hari

maka mandi kepada air yang sejuk itu. Dan perbuatan pelbagai

yang andak* dalam dunia semuhanya ia melihat karena

Masilpatani* itu bandar Kutb Syah yakni raja Gulgonda, tatkala

zaman sultan Muhammad Huli akan kerajaan di negeri Gulgonda.

Tellah demikian itu hatta datang musim maka ia pulang. Berapa

lamanya di tengah laut, maka datang masuk selat antara Puluh

Merkata* dan ujung Tanjung Cina, lalu datang ke Banten sehingga

datang ke Jawahkatra*, maka ia berenti di sanalah. Entah berapa

antaranya, maka Mihirjiguna sakit. Sehingga enam hari dengan

kehendak Allah ta`ala wafat meninggal negeri fana datang

kepada negeri yang baka pada bulan Rubiu'l-awal dua belas hari

pada tahun [1032] Ha, pada malam Ahad. Maka dibaiki suatu petti

dilapis dengan tima hitam, maka ditaburkan segala bauh-bauan

dalam kafan, lalu dimasukkan mayit itu ke dalam petti. Entah

berapa lamanya dalam negeri Betawih, maka dinaikan kepada

sebuah kapal membawah kepadanya. Dan pasan jeneral dalam

surat kepada Kapitan Hitu dan gurendur Herman Aspel*, demikian

katanya: ‘Ada pun kehendak Arinjiguna* itu seribus* kali beta

terima. Daripada ia tiada empunya untung, maka ia mati pulang

kepada asalnya, tetapi Kapitan Hitu dan gurendur kira-kirakan

kehendak Arinjiguna* itu. Apabila jika dengan baiknya musim

yang datang ini suruan ke mari, maka beta serahkan kepada dia.’

Tellah demikian itu, maka diberikan surat itu pada tangan Sifar al-

Rijali, lalu belayar. Entah berapa lamanya di tengah jalan, maka

datang ke Ambon masuk ke Kota Laha. Pada tatkala itu Kapitan

Hitu pun ada di Kota Laha, bicarakan Inggeris dan Jupun endak

tipu kepada Wolanda serta kotanya itu.Maka diberikan surat itu

kepada Kapitan Hitu dan gurendur, lalu dibaca sendirinya, maka

gurendur kata kepada Kapitan Hitu: ‘Baik juga kata jeneral

kepada kita kedua itu kira-kirakan kepada kehendak Mihirjiguna

itu, tetapi inilah perbuatan Inggeris dan Jupun, jika datang orang

Bandan* pula.’ Lalu dibunuh Inggeris dan Jupun itu, maka tiada

jadi kehendak Mihirjiguna itu sebab perbuatan orang itu. Lalu

dinaikan mait itu kepada kelengkapannya orangkaya dan orang

dari negeri pun keluar mendapatkan dia di tengah jalan, sehingga

datang ke negeri. Maka dipertitahkan serta dengan arta

disedekakan kepada fakir dan miskin dan orang besar-besar dan

dipeliharakan sehingga adatnya. Itulah kesudahan pelayaran

Mihirjiguna ke tanah Keling. Serta kehendak Allah ta`ala,

kemudian daripada Arinjiguna* itu Unus Halaene akan hukum.

Ialah bengis di tanah Hitu serta kelakuannya, karena adatnya raja

ada kepadanya dan adat bendahara pun ada kepadanya. Dan

kelakuan hulubalang pun ada kepadanya, karena ia berjalan atau

duduk serta senjata tiada boleh meninggalkan dia dan

syaudagarnya pun sangat serta murahnya tangannya. Seorangpun

tiada sebagainya di tanah Ambon. Kemudian daripada itu maka

kuceriterakan tatkala bendahara gimelaha Syabidin meninggalkan

negeri yang fanah itu datang kepada negeri yang baka itu, tanah

Ambon dalam hukum perdana gimelaha Hidayat. Maka ia pinda ke

negeri Lesiela meneguhkan negeri itu daripada ia melihat salah

kelakuan Wolanda itu. Pertama membuat gudang di pantai

Huniyasi*, artinya negeri sengaji Hatuhaha, kedua membuat

kotanya di tanjung Koako, ketiga membawah angkatan

mendatangi di tanah Seran. Lain daripada itu banyak lagi

perbuatannya, itulah sebabnya. Hatta datang berapa lamanya

dengan kehendak Allah ta`ala perdana gimelaha Hidayat pun

uzur, artinya sakit lalu pulang ke rahmat Allah ta`ala. Kemudian

daripada peninggal perdana itu, makin bertambah-tambah fitnah

sebab dagang, lalu paranglah gimelaha Luhu dan gimelaha

Leliyato serta di tanah Ambon semuhanya, sehingga tanah Hitu

juga tiada mengikut. Maka kedua kaum Islam dan kaum Nasrani

itu berparanglah, sarang-menyarang, alah-mengalah sebagailah.

Hatta berapa lamanya maka datang titah paduka serri sultan

Ternate suruh bedamai. Apabila datang dagang, maka Wolanda

datang rusak kepada dagang itu, maka gimelaha serta orangkayakaya

semuhanya tiada mau rusak dagang dalam bandar. Lalu

berparang pula, sarang-menyarang, alah-mengalah, sentiasa

tiada berputusan parang di tanah Ambon dengan orang Nasrani

itu, karena kehendaknya Nasrani dan Yahudi itu endak

mengarusakkan agama Islam dimasukkan agama Nasrani.

Daripada itulah maka digelar nama kelengkapannya itu ‘buang

destar’ namanya dan demikian lagi kehendaknya Islam endak

mengarusakkan agama Nasrani dan Yahudi dimasukkan kepada

agama Islam. Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya

Daripada itulah maka gelarnya kelengkapannya johan pahlawan

gimelaha Leliyato ‘buang capeu*’ namanya. Daripada itulah maka

parang sabil Allah di tanah Ambon tiada berputusan. Pada tatkala

itu johan pahlawan gimelaha alah kepada sebuah negeri, Wai

namanya. Semuhanya diangkatnya bawah ke negeri Lesiela. Hatta

datang titah disuruh pulangkan, maka dikembalikan dianya.

Itulah halnya tanah Ambon dengan orang Nasrani itu. Segali

perastawa mendamaikan dua kaum itu. Maka kata Kapitan Hitu

kepada gurendur, lalu keluarkan kotanya di tanjung Koako itu dan

gudang di Huniyasi* itu. Lalu Kapitan Hitu dan hamba raja

Kalabata belayar ke Jawahkatra* bebicara dengan jeneral. Hatta

datang di sana raja Mataram menyuruh kepada tumengung*

Bauhraksah mendatangi kota Betawih, maka tiada ketahuan

bicaranya jeneral itu, karena ia dalam kesukaran. Dan di

belakangnya Kapitan Hitu datang kapitan lawut baginda kiyaicili

Ali ke tanah Ambon. Maka diturunkan yakni dikeluarkan gimelaha

dua bersyaudara, suruh kembali ke Ternate. Tellah demikian itu

Kapitan Hitu pun datang dari Jawahkatra*, lalu masuk ke negeri

Luhu. Maka ia bertemu kepada kapitan laut dan barang apa2

bicara dengan jeneral itu semuhanya diceriterakan kepada

kapitan laut serta muafakat. Lalu kapitan laut pun berangkat ke

Manipa dan Kapitan Hitu pun pulang ke tanah Hitu. Maka

gurnadur Filipi Lukas* dan hukum Halaene serta angkatannya

mengadap kepada kapitan laut. Maka dibawah kepada gimelaha

dua bersyaudara kembali ke Tanah Besar, maka gimelaha Leliyato

ia duduk negeri Kembali dan gimelaha Luhu ia duduk di

Gamusungi, yakni negeri Luhu, tempatnya yang lama. Maka

suatupun tiada fitnah lagi di tanah Ambon dan kapitan laut pun

berangkat ke tanah Sula, dari Sula lalu ke tanah Banggai, dari

Banggai datang ke Tambuku, dari Tambuku lalu membaiki negeri

serta dengan kotanya ia duduk. Hatta berapa lamanya datang

angkatan dari Buton serta anak raja2 dan orang besar2

semuhanya membawah titah serta dengan adat mengadap kepada

raja laut, lalu pindah ke tanah Buton, sehingga sanalah ia

berhenti. Entah berapa lamanya dengan takdir Allah ta`ala pulang

ke rahmat Allah. Itulah kesudahannya datang raja laut di tanah

Ambon. Alkissah peri mengatakan sekali perastawa perdana

Kapitan Hitu pada suatu ketika ia duduk, maka ihtiar sendirinya,

demikian katanya: ‘Ada pun aku ini sudah tuah. Siyapa tempat

kuserahkan tanah ini?’ Lalu diserahkan kepada orangkaya Samu2

menunggu tanah Hitu serta orangkaya Bulan, keduanya

memerintahkan tatkala perdana Kapitan Hitu lagi dalam negeri

Betawih. Hatta datang musim perdana pun pulang, maka suatu

tiada fitnah dalam tanah Hitu. Apabila datang suatu fitnah

daripada negeri yang lain bagi Islam atau Nasrani, melainkan

hukum Halaene juga tiada mau kecewa kepada nama tanah Hitu.

Daripada ialah orang Wolanda itu tiada dapat melakukan

kehendaknya kepada tanah Hitu pada zaman itu. Hatta berapa

lamanya apa2 kehendaknya, maka ia datang kepada gurendur

endak mengatakan kepadanya. Maka datang kehendak Allah

ta`ala kepada seorang perempuan bedzebai, artinya celaka,

memberi racung kepadanya. Maka ia tiada boleh tahan dirinya

lagi, lalu ia kembali sehingga datang ke negeri. Masya Allah ia

meninggal kepada darulfanah datang kepada darulbaka, yakni

meninggal kepada dunia datang kepada akhirat. Maka

dipeliharakan serta adat sehingga datang seratus harinya. Maka

dinaikan kepada Kakiyali akan hukum, maka ia kedua orangkaya

Samu2 keluar serta dengan angkatan melepaskan dukacittanya.

Karena istiadat orang besar yang ternama, apabila ia mati tiada

boleh masuk esukaan dan beramai-ramaian atau bunyi-bunyian

dalam negeri, melainkan alah sebuah negeri atau keluar arta

daripada takluknya sekalian; kemudian daripada itu, maka

bersuka-sukaan serta beramai-ramaian dan bunyi-bunyian dalam

negeri itu. Daripada itulah maka ia keluar membawah angkatan

menyarang negeri. Entah berapa lamanya di tengngah jalan, maka

orangkaya Samu2 pun uzur, yakni sakit serta kehendak Tuhan

Yang Mahatinggi orangkaya pun wafat, pulang ke rahmat Allah.

Maka menyuruh antarkan maitnya orangkaya itu pulang ke

negeri. Lalu Kakiyali membawah angkatan itu menyarang kepada

sebuah negeri Hatumete namanya. Semuhanya ditangkapnya,

kemudian dibagi dua: setengah didudukkan di negerinya dan

setengah dibawah kepadanya ke negeri Hitu. Maka ia beramairamaian

kesukaannya serta bunyi-bunyian dalam negeri Hitu.

Itulah istiadat mati orang ternama di tanah Ambon. Maka

kuceriterakan tatkala itu negeri Iwa* dan orang Wolanda endak

berkellai sebab Pati Herman. Maka hukum Kakiyali juga membaiki

tiada jadi berkelai, yakni mendamaikan dia. Tellah demikian itu

dan kuceriterakan tatkala itu ada lagi hayat perdana Kapitan Hitu,

maka barang sesuatu fitnah dalam tanah Hitu atau tanah Ambon,

bagi Islam atau Nasrani, jangankan sesuatu negeri, jikalau

seseorang juga pun, ia juga membaiki. Tetapi kepada fitnah tiada

dapat dikatakan lagi daripada nafsu dunialah. Hatta lama dengan

lamanya orangkaya pun makin tuah serta dengan kehendak Allah

subhanahu wa-ta`ala uzur, maka dalam uzur itu menyuruh

panggil kepada orangkaya-kaya semuhanya. Hatta datang maka

kata perdana Kapitan Hitu, demikian katanya: ‘Ada pun kehendak

Allah ta`ala siapa mengetahui? Tetapi pada perasaan diriku,

wa-'llahu a`lam, hanya baik2 bicara kepada tanah ini serta

dengan agama rasul Allah salla 'llahu alaihi wa-sallama.’ Maka

menyahut pula orang banyak itu: ‘Bennar kata tuhanku itu.

Kehendak Allah ta`ala siyapa mengetahui, tetapi jika datang

masya Allah siyapa membawah tanah Hitu ini?’ Maka kata

orangkaya: ‘Tiada dapat dikatakan, melainkan mana kehendak

Allah ta`ala serta orang banyak itulah memangku tanah Hitu.’

Dan apa2 pekatahan serta adat tanah Hitu semuhanya dikatakan

kepada keempat perdana dan berapa2 pekatahan yang dahulu

kala itu semuhanya dikatakan kepada anak buahnya. Tellah

demikian itu datang masya Allah, lalu pulang ke rahmat Allah.

Maka dipeliharakan mait perdana itu dan disedekakan arta

kepada segala penghulu agama dan orangkaya-kaya dalam negeri

Hitu sekalian dan diadatkan sehingga datang seratus harinya.

Maka gurendur Artus* dan orangkaya-kaya semuhanya muafakat,

maka dinaikan kepada hukum Kakiyali akan Kapitan Hitu serta

perjanjian: ‘Apabila barang suatu pekerjaan atau pekatahan,

jangan seorang mengaku ia sendirinya, melainkan keempat

orangkaya dan Kapitan Hitu serta muafakat, maka dikerjakan.’

Karena pada ketika itu mardan Baros akan Nusatapi nama

gelarnya dan mardan Mulutan akan Totohatu nama gelarnya dan

mardan Kelisa akan Pati Tuban nama gelarnya dan mardan Kiyoan

akan Tanihitumesen. Itulah nama keempat serta Kapitan Hitu

pada zaman itu. Tellah demikian itu entah berapa dalamnya maka

Kapitan Hitu menyuruh dua buah parau utusan ke Mangkasar,

maka orang membawah fitnah kepada gurendur itu, demikian

katanya: ‘Ada pun Kapitan Hitu menyuruh ke Mangkasar endak

muafakat dengan serri sultan di Goa. Apabila sudah muafakat

serta minta angkatan datang berkellai dengan Wolanda.’ Maka

gurendur pun percaya, tiada dengan periksyanya, maka berapa

kali tipu kepada Kapitan Hitu,tetapi bulum lagi dengan kehendak

Allah ta`ala tiada jadi tipunya itu, karena Kapitan Hitu sudah

mengetahui kelakuan Wolanda itu. Maka tiada boleh dikerjakan

kehendaknya, lalu gurendur Kisil ia belayar ke Betawih, maka

digantikan Antoni* akan gurendur. Iapun demikian juga

kelakuannya.Karena pada tatkala itu perdana gimelaha serta

negeri semuhanya berkellai dengan Wolanda, sehingga negeri

Luhu juga dua bahagi. Sebahagi serta perdana gimelaha dan

negeri sekalian, maka berparanglah dan sebahagi serta kiyaicili

Sibori memegang Wolanda membuat gudungnya di negeri Luhu

dan paranglah kedua pihak itu, sarang-menyarang, alahmengalah

sebahagai juga tiada berputusan. Hatta berapa lamanya

datang utusan dari Maluku, sadaha* Semaun namanya,

membawah titah datang kepada perdana gimelaha serta Ulima

dan Ulisiwa. Maka ia masuk ke tanah Hitu, karena dalam titah itu

demikian buninya: ‘Katakan kepada Kapitan Hitu dan orangkayakaya

sekalian dalam negeri Hitu, serta utusan sadaha Semaun

mendamaikan kepada gimelaha dengan gurendur dan membaiki

tanah Ambon Ulima dan Ulisiwa, supaya jangan jadi fitnah.

Karena perjanjian Wolanda itu seorangpun tiada mengetahui,

melainkan Kapitan Hitu juga mengetahui dia dan ia juga menaruh

surat yang perjanjian itu.’ Tellah demikian titah itu, maka kata

orangkaya-kaya tanah Hitu: ‘Jika bagai kehendak titah demikian

itu, baik juga utusan pulang dahulu ke Tanah Besar,kemudian

kami mengikut di belakang.’ Maka utusan pulang menanti di

pantai Luhu, maka datang gurendur itu pun demikian juga, lalu ia

mengikut utusan itu menanti di pantai Luhu. Maka Kapitan Hitu

dan orangkaya-kaya keluar dengan kelengkapannya, lalu

menyebarang. Hatta datang ke Tanah Besar, maka gurendur serta

angkatannya mendapatkan dia di pantai Warau. Maka kata

gurendur itu:‘Marilah kita berkata2 dahulu, kemudian kita masuk

ke pantai Luhu kepada orang banyak.’ Maka Kapitan Hitu serta

orangkaya-kaya semuhanya naik kepada kelengkapannya

gurendur itu, maka dipagang semuhanya serta Kapitan Hitu. Maka

riuhlah orang dalam kelengkapan itu, lalu dikelilingkan angkatan

kepadanya. Ia sebuah2 juga ditengah2 serta pasang-memasang,

tembak-menembak datang pengelodan rawaki itu seperti titi

hujang atas air masing dan asap obat menjadi awan antara langit

dan bumi. Dan buni bedil serta* kilat dan riuh seperti ceritera

buni sangkakalah tatkala hari kiamat kepada yaum al-mahsyar.

Karena angkatan Wolanda itu lima puluh aluan, lain daripada

kapal dan patacoh*, maka ia sebuah2 juga melawan dengan

dia.Sehingga datang kepada tanjung Kahula Wolanda itu pun

undur. Iapun masuk ke pantai Lesiela, lalu menyuruh sebuah

perau membawah kepada Patiwani. Ia pulang ke tanah Hitu

menyampaikan khabar itu kepada negeri serta dipindahkan negeri

semuhanya naik ke atas gunung. Dan undur angkatan Wolanda

itu, lalu menyebarang ke tanah Hitu endak menyarang kepada

negeri, tetapi tiada dapat lagi. Maka menyuruh panggil kepada

orangkaya-kaya, demikian katanya: ‘Apa kerja pindah? Karena

tanah Hitu dan Wolanda itu seperti laki-bini. Apabila bini salah itu

melainkan lakinya juga ajar kepada dia, maka beta pagang

kepada Kapitan Hitu dan orangkaya-kaya ini. Demikian itulah

halnya orang laki-bini dalam dunia, tetapi keluarlah kita kedua

berbicara serta kebaikan.’ Maka kata orang Hitu:‘Bennar juga kata

gurendur itu, tetapi kembalikan dahulu kepada Kapitan Hitu dan

orangkaya2 itu, maka kami keluar kepada gurendur.’ Maka

dilepaskan kepada orangkaya-kaya itu, Kapitan Hitu juga tiada

dilepaskan. Maka orang Hitu pun tiada mau keluar kepadanya

serta memerintahkan negerinya. Dan utusan sadaha Semaun pun

menangkap kepada orangkaya-kaya dalam negeri Luhu; yang

memagang kepada Wolanda itu pun ia bawah ke Maluku. Maka

orangkaya-kaya sekalian di tanah Ambon tercangan terlalu

khairan kepada perbuatan gurendur dan utusan sadaha Semaun

itu, maka tanah Ambon semuhanya tiada ketahui kehendaknya.

Setengah berkata: ‘Baik kita berkellai.’ Dan setengah berkata:

Baik kita bedamai, karena sudah didamaikan kita dengan

gurendur.’ Dan setengah pula berkata: ‘Jangan kita berkellai dan

jangan kita bedamai sehingga diam sahanya*, supaya kita

menanti kehendak titah.’ Maka kata perdana gimelaha dua

bersyaudara: ‘Bennar juga kata orangkaya itu. Tetapi kepada

perbuatan Wolanda ini rusak kepada agama rasul Allah di

hadapan titah yang dipetuan, daripada ia tiada berupama ke

bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min Allah syah, zill

Allah fi 'l-`alamin.Daripada itulah baik kita berparang dengan

dia.’ Lalu muafakatlah tanah Ambon semuhanya sehingga sebuah

negeri Luhu juga. Maka kata Sifar ar-Rijali di hadapan

perdana,Ulima dan Ulisiwa: ‘Ada pun berkellai ini sebab, apabila

jika sebab Kapitan Hitu, sabar dahulu, supaya kita menanti titah

yang dipetuan dan kabaran.’ Maka kata Ulima dan Ulisiwa: ‘Sebab

agama rasul Allah, kedua perkara sebab titah tiada berupama ke

bawah dulli yang dipetuan.’ Dan barang apa2 pekatahan kepada

hari yang kemudian itu, semuhanya ditaksirkan di hadapan

perdana gimelaha dan orangkaya sekalian. Tellah sudah

ditaksirkan kata demikian itu, lalu ia beli obat bedil empat balas

bahara cengkeh harganya, dan tengah tujuh ratus padang. Lalu ia

pulang serta orangkaya gimelaha dan negeri Waibuti ke tanah

Hitu serta muafakat dengan orangkaya2 di tanah Hitu. Lalu ia

pulang, maka negeri Hitu sekalian berkellai, sehingga orangkaya

Tanihitumesen dengan orangkaya Bulan juga tiada berkellai. Ia

mengikut kepada Wolanda itu, maka ia jadi musuh kepada negeri

Hitu sekalian dan negeri sekalian pun memerintahkan kepada

hulu parangnya. Maka digelarnya kepada pendagar Nahoda dan

pendagar Pati Husen* keduanya akan panglima di tanah Hitu. Lalu

ia pergi merompa di tanah sebelah kepada pihak tentara Nasrani

itu. Maka diteguhkan Allah subhanahu wa-ta`ala, berkat agama

rasul Allah serta dengan kemenangannya, maka ia pulang di

negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan dan disalin

kepadanya serta dengan dimasyhurkan namanya johan pahlawan

Patiwani. Itulah hasiat* orang parang sabil Allah dalam dunia.

Tellah demikian itu pendagar Telukibesi ia pergi merompa pula

kepada pihak tentara Nasrani itu. Maka dengan kehendak Allah

ta`ala berkat agama rasul Allah serta kemenangannya, lalu ia

pulang di negeri Kapahaha bersuka-sukaan dan dimulliya

kepadanya serta dimasyhurkan namanya johan pahlawan

Tubanbesi. Ia duduk di gunung Kapahaha. Itulah faedah orang

parang sabil Allah dalam dunia, entah berapa lagi dan* akhirat;

karena riwayat pandita dalam syarah Sunusi*, dua perkara orang

masuk syurga tiada dengan hisab* lagi, suatu perkara tarekad

dunia, kedua perkara parang sabil Allah. Daripada itulah, maka

beramai-ramaian negeri sekalian berparang dengan Wolanda itu.

Maka kata Wolanda itu: ‘Apabila orang Hitu keluar duduk di pantai

seperti dahulu kala itu, maka kami keluarkan Kapitan Hitu.’ Maka

kata orang Hitu: ‘Bennar juga kata gurendur itu, tetapi keluarkan

dahulu, maka kami turun duduk di pantai kembali seperti dahulu

itu. Jikalau tiada lepaskan dia, kami pun tiada mau keluar.’ Maka

negeri semuhanya tiada keluar sehingga orangkaya Bulan, ayah

mudanya Kapitan Hitu serta tujuh negeri keluar duduk di pantai

serta Wolanda itu. Maka kata orang sekalian kepada orangkaya

itu: ‘Betapa kehendak orangkaya keluar itu?’ Maka kata

orangkaya: ‘Baik juga kita keluar ikut katanya. Dalam tujuh bulan

itu apabila dilepaskan kepada Kapitan Hitu, maka negeri sekalian

keluar. Jikalau tiada dilepaskan kepada [Kapitan] Hitu dalam

tujuh bulan itu kita berbantahkan perjanjiannya.’ Maka orangkaya

keluar serta muafakat dengan orangkaya-kaya, lalu orangkaya

Tanihitumesen belayar ke Betawih. Dan apa2 kehendak

orangkaya itu semuhanya dikatakan kepada jeneral, maka di

belakang orangkaya negeri semuhanya itu keluar masuk kepada

musuh itu,tiada lagi berkellai. Maka kata Sifar ar-Rijali kepada

orangkaya-kaya dan panglima serta pendagar sekalian, demikian

katanya: ‘Apabila perbuatan kita demikian ini?Rusaklah negeri

kita dan Kapitan Hitu pun tiada dikembalikan lagi oleh Wolanda

itu.’ Lalu ia pergi merompa kepada orang Hitu yang mengikut

kepada Wolanda itu. Hatta dengan takdir Allah ta`ala serta

dengan kemenangannya, maka ia pulanglah ke negeri Wawani

bersuka-sukaan, maka seorangpun tiada keluar lagi.Entah berapa

lamanya datang orangkaya Tanihitumesen, maka orangkaya-kaya

menyuruh tanya kepadanya: ‘Betapa kehendak jeneral kepada

Kapitan Hitu, lepaskankah atau tiadakah?’ Maka ia berkata: ‘Ada

pun kata jeneral, tiga bulan lagi datang kapal dari Bandan, maka

dilepaskan kepada Kapitan Hitu.’ Maka negeri Hitu semuhanya

menanti sehingga datang tiga bulan tiada juga dilepaskan, maka

kata negeri sekalian kepada orangkaya Bulan: ‘Ada pun perjanjian

gurendur kepada orangkaya dalam tujuh bulan, sekarang sudah

lalu tiga bulan, maka tiada ia mengikut perjanjian itu. Betapa lagi

kehendak orangkaya itu, kami ikut juga, tetapi baik orangkaya

undur dahulu. Kemudian apa kehendak orangkaya itu katakan

juga kepada orang sekalian, supaya kita kerjakan.’ Itu pun tiada

juga orangkaya mau undur sehingga empat buah negeri undur

naik ke gunung, lalu paranglah negeri semuhanya beramairamaian.

Pada ketika itu pahlawan Patiwani seorangpun tiada

sebagainya di tanah Hitu, di mana merompa di darat atau di laut

tiada lain ia juga. Dan kuceriterakan perdana gimelaha dan

orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa, sekalian pati dan sengaji

semuhanya keluar serta dengan angkatan endak menyarang

kepada negeri orangkaya Tanihitumesen. Daripada ia bulum lagi

untungnya, maka tiada jadi mendatangi dia, sehingga

dipindahkan kepada negeri Loin naik ke atas gunung. Lalu datang

ke pantai Wawani, maka ia bertemu kapal Wolanda itu, lalu

melawanlah ia dengan kapal itu daripada waktu duha sehingga

datang waktu asar. Hatta datang angin daratan, lalu kapal pun

belayar dan angkatan pun undur ke pantai Wawani. Apabila

masuk matahari, entah berapa kapal serta kora2 datang pula,

maka kedua pihak pasang-memasang, tetapi iapun tiada turun

dan iapun tiada naik sehingga berapa lamanya Wolanda pun

pulang dan angkatan Islam pun kembali serta perdana gimelaha.

Maka ketika itu tanah Ambon Ulilima dan Ulisiwa semuhanya

berparanglah beramai-ramaian tiada berputusan. Hatta datang

musim barat, datang armada dari Betawih endak menyarang

kepada kota Lesiela, tetapi perdana gimelaha sudah harkat

menanti dia. Maka kedua pihak berparanglah siang dan malam,

pagi pettang tiada berantara lagi. Sebahagai juga parang kedua

pihak itu, tetapi kepada parang Wolanda itu tiada dapat

diceriterakan pelbagai parangnya. Hatta datang tiga bulan

bertungguan tiada boleh alah, lalu ia pulang ke Betawih. Maka

perdana gimelaha serta Ulilima dan Ulisiwa keluar meromparompa

kepada negeri Yahudi dan Nasrani, sarang-menyarang

sebahagailah tiada berhenti lagi. Hatta berapa lamanya datang

utusan dari Maluku, gimelaha Bobawa, membawa titah

memanggil kepada gimelaha dan orangkaya-kaya. Maka Kipati

Luhu dan Pati Tuban dan imam Nusaniwe, lain daripada itu tiada

kusebutkan, serta perdana gimelaha Luhu pergi mengadap ke

bawah dulli paduka serri sultan Hamza, nasrun min llah syah.

Tellah demikian itu maka kuceriterakan: di belakang perdana

gimelaha Luhu itu johan pahlawan gimelaha Leliyato memangku

tanah Ambon serta memerintahkan parang sabil Allah dan berkat

agama rasul Allah serta kemenangannya. Segali perastawa ia

keluar serta angkatannya mendatangi kota dauman*. Hatta

dengan takdir Allah ta`ala entah berapa-rapa negeri Nasrani

takluk Wolanda itu bebali kepada johan pahlawan gimelaha serta

orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa. Maka kata johan pahlawan

[kepada] orangkaya-kaya Nasrani itu, demikian katanya: ‘Hai

syaudaraku, engkau sekalian bukan kami endak kepada hamba

sahayamu dan bukan kami kehendak kepada artamu, tetapi

kehendak kami itu melainkan kita bersama-sama membawah

agama rasul Allah.’ Maka diiakan orang itu, lalu ia pulang ke

negeri bersuka-sukaan, makan-minum serta disalini dengan

pakaian yang inda2. Maka gurendur menyuruh sebuah kapal

belayar membawah khabar kepada jeneral serta bawah kepada

Kapitan Hitu ke Betawih. Maka kata orang Hitu kepada orangkaya

Bulan, demikian katanya: ‘Siya-siyalah orangkaya keluar serta

Wolanda itu . Jangan dikembalikan kepada Kapitan Hitu; jika

ditahankan ia duduk sehingga tanah Hitu jua pun baik juga, ini

pula dibawah ke ini pula dibawah ke Betawih.’ Lalu orangkaya

belayar ikut ke Betawih dan apa2 kehendaknya orangkaya itu

dikatakan kepada jeneral. Hatta datang musim jeneral pun datang

serta angkatannya ke tanah Ambon, menyarang kepada Lesiela

serta dengan kehendak Allah ta`ala alah kota Lesiela. Maka

orangkaya gimelaha dan orang semuhanya pindah ke negeri

Kambelo,betahanlah di sana serta orang dagang Melayu

Minangkabau. Lalu Wolanda itu ke negeri Hatubawah endak

menyarang kepada gunung Alaka. Itu belum lagi dengan

kehendak Allah ta`ala, maka tiada boleh alah, lalu ia pulang ke

Kota Laha. Hatta dengan takdir Allah ta`ala, maka dikembalikan

kepada Kapitan Hitu.Sendiri-dirinya juga, seorangpun tiada serta

dia, nama orang hitam, Nasrani atau Islam, melainkan Wolanda

juga antar kepadanya sehingga datang ke pantai Hila. Maka

ditinggal kepada dia lalu orang Hila antar bawah kepadanya ke

negeri Wawani. Maka negeri Hitu sekalian bersuka-sukaan,

makan-minum, beramai-ramaian dengan dia, lalu orangkaya-kaya

semuhanya serta Kapitan Hitu pergi ke Kota Laha bedamai

dengan jeneral dan gurendur serta orang besar-besarnya. Entah

berapa lamanya dalam Kota Laha, maka ia pulang ke negeri

Wawani dan negeri sekalian memberi tiga puluh bahara cengkeh

kepada jeneral akan pembeli siri pinang,seperti pantun Melayu:

Dapakan bunga setangkai jangan diaibkan orang.’ Tellah

demikian itu orang membawah fitna kepada jeneral dan gurendur,

demikian katanya: ‘Kapitan Hitu menjual cengkeh kepada dagang

Mangkasar dan Minangkabau di Puluh Tiga.’ Maka gurendur tiada

dengan periksyai lagi, lalu menyuruh kepada kapitan Yon Yan*

serta orang banyak mencahari. Ganap tanjung dan labuan tiada

dapat, lalu ia mengadang ke laut Puluh Tiga. Itu pun tiada juga

dapat, lalu ia pulang ke Kota Laha. Maka Kapitan Hitu pun takut

tiada keluar kepada Wolanda itu, makin bertambah fitnah. Hatta

tiada berapa lamanya datang paduka serri sultan Hamza, nasrun

min Allah syah, zill Allah fi 'l-`alamin, ke tanah Ambon serta raja

Tidore yang diturunkan daripada kerajaannya itu dan raja Jailolo.

Maka Wolanda itu serta angkatannya mendapatkan paduka serri

sultan, lalu masuk ke pantai Kambelo. Maka tanah Ambon dan

Buru sekalian berhimpunlah di sana. Hatta datang titah yang

dipetuan kepada orangkaya-kaya dalam negeri Lesidi dan

Kambelo, sekalian pati dan sengaji: ‘Rubuhkan kotamu itu dan

niyahkan segala orang dagang itu, suruh belayar pulang ke

negerinya.’ Maka kotanya itu pun dirubuhkan dan sekalian dagang

itu pun belayar masing2 mencahari tempatnya. Maka suruh

panggil perdana gimelaha dua bersyaudara, lalu dinaikan

pahlawan gimelaha Leliyato kepada kapal Wolanda itu dan

dikeluarkan gimelaha Luhu. Tellah demikian itu paduka yang

dipetuan berangkat ke tanah Hitu serta Wolanda itu dan negeri

Hitu sekalian pun keluar jungjung serta dengan adat semuhanya

dikerjakan. Ada yang memagang senjata serta santiagu*, ada

yang bejalan saja, ada yang membawah ayapan, ada yang

membawah arta bejenis-jenis serta bunyi-bunyian mengiringkan

kepada payung kerajaan daulat al sultan Hamza, nasrun min Allah

syah, zill Allah fi 'l-`alamin. Maka berhimpunlah tanah Ambon

sekalian berhadapan . Apabila sudah rubuhkan kotanya, maka

turun Wolanda itu mendatangi negeri Kambelo. Maka orang

Kambelo keluar serta pahlawan Patiwani Hitu. Pada ketika itu ia

duduk di negeri Kambelo, maka berparanglah atas bukit itu. Hatta

seketika lagi patah parang Kambelo, berpalinglah orang sekalian,

sehingga Patiwani jua ia betahan parang dengan Wolanda itu.

Tiada dapat kuceriterakan parangnya. Kemudian berhadapan di

bawah dulli yang dipetuan, hatta datang titah kepada orang

sekalian:‘Mana surat perjanjian dengan Wolanda itu?’ Maka

menyahut orangkaya-kaya semuhanya: ‘Ada pun surat perjanjian

Wolanda itu ada kepada patik tuanku Kapitan Hitu.’ Lalu

menyuruh panggil kepada Kapitan Hitu. Ada pun pada ketika itu

Kapitan Hitu pun sakit, lalu pulang orang yang memanggil itu

menyampaikan ke bawah dulli yang dipetuan. Tetapi kepada

jeneral itu tiada ia percaya. Maka menyuruh fetor Soroi* dan

sarinto* pergi periksyai kepada penyakitnya itu. Lalu ia pulang

katakan kepada jeneral: ‘Bennar juga kata orang itu.’ Tellah

demikian itu panglima Nahudimeten serta imam Sifarrijali

keduanya keluar datang mengadap ke bawah dulli serri sultan.

Hatta datang maka titah: ‘Mana Kapitan Hitu?’ Maka menyahut

Sifarijali: ‘Daulat tuanku, ampun seribu ampun, patik tuanku

sakit. Jika tiada sakit, sudah datang ke bawah dulli tuanku.’ Maka

titah: ‘Jika ia sakit, manatah surat perjanjian Wolanda itu?’ Maka

menyahut pula Sifarijali: ‘Patik minta maaf. Bennar juga titah

yang dipetuan itu, tetapi tatkala ditipu kepada patik tuanku,

jangankan surat itu, negerinya pun tiada diketahui lagi. Entah

surat itu ta dapat tiada kepada Wolanda, karena ia tempat

merampas isi rumah Kapitan Hitu.’ Maka sabda yang

kerajaan:‘Apabila bagai kata yang demikian itu, tiadalah kita

memutuskan kepada perjanjian itu, karena surat pun tiada, yang

memagang surat pun tiada datang.’ Lalu berangkat kepada

kelengkapannya dan orang sekalian pun masing2 pulang kepada

tempatnya. Hatta datang kepada hari yang lain, maka masuk pula

bicara dalam gudang Wolanda itu. Itu pun demikian juga tiada

berputusan, lalu dibawah belayar kepada pahlawan gimelaha

Leliyato ke Jawahkatra*. Maka tanah Ambon pun masing2 pulang

ke negerinya, sehingga kelengkapan dari Ternate itu juga serta

yang dipetuan di tanah Hitu. Maka bersumpah-sumpahan kalam

Allah dengan orang Hitu dan berjanjian dan muafakat seperti

dahulu itu lagi, lalu berangkat ke Kota Laha. Entah berapa

lamanya di sana, maka berangkat pulang ke Hitu pula, dari Hitu

menyeberang ke Luhu, dari Luhu berangkat ke Kambelo, Lesidi,

lalu pulang ke Maluku, sehinggalah keluar yang dipetuan serri

sultan Hamza, nasrun min Allah syah, meninggalkan benua

Ternate datang ke tanah Ambon, itulah kesudahannya. Telah

demikian itu maka kuceriterakan kemudian daripada itu tanah

Ambon, tiada ketahuan negeri Luhu dan negeri Lesidi, lain

daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira mengikut

kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran* dan Loki,

lain daripada itu tiada kusubutkan serta gimelaha Majira

mengikut kepada Wolanda. Ada pun negeri Kambelo dan Eran*

dan Loki, lain daripada itu tiada kusubutkan, serta gimelaha Luhu.

Dan kepada tanah Hitu negeri Hila dan negeri Hitulama, lain

daripada itu tiada kuceriterakan, serta orangkaya Bulan dan

orangkaya Tanihitumesen mengikut kepada Wolanda. Ada pun

negeri Hitu dari Wawani dan negeri Asilulu dan negeri Alan,

Liliboy, lain daripada itu tiada kuceriterakan, serta Kapitan Hitu

dan Pati Tuban dan Tubanbesi, serta johan pahlawan gimelaha

Luhu berparang dengan Wolanda itu, alah-mengalah,sarangmenyarang

sebagailah tiada berputusan parang sabil Allah di

tanah Ambon. Hatta berapa dalamnya, maka orang Hitu dan orang

Kambelo serta orangkaya gimelaha belayar mengadap raja

Mangkasar minta tolong kepada agama rasul Allah. Maka serri

sultan Muhammad Sya`id, wa-sultan al-Din, ibn al-sultan marhum

syah, menyuruh tujuh buah perau mengantarkan kepada

orangkaya gimelaha dan orangkaya2 pulang ke tanah Ambon.

Sehingga datang ke pantai Eran*, maka bertemu dua buah kapal .

Berlawanlah di sana dua kaum itu, pasang-memasang, tembakmenembak,

karena kelengkapan Mangkasar membuat

talangkeranya* di darat dan Wolanda membuat di laut atas

kapalnya. Hatta berapa antaranya dalamnya parau dari Kambelo

dan dari Hitu datang membawah kepadanya; setengah masuk

duduk di Kambelo dan setengah dibawah ke Hitu membuat

kotanya di pantai Seit ia duduk. Lalu menyorong parangnya

kepada negeri Larike dan negeri karas sukar mengalahkan dia.

Hatta datang pahlawan Patiwani melihat kepada negeri itu,

sangngat berahinya, lalu masuk sekali2 tiada dengan was2 lagi,

maka alah negeri itu. Endak lalukan kepada gudang Wolanda itu,

tetapi diteggah oleh penggawa, karena pasan yang dipetuhan

tiada dengan orang Wolanda, karena perjanjian raja kepada

Wolanda itu belum lagi berubah. Maka ia bernanti tiada masuk

kepada gudung itu, sehingga lalu pulang orang sekalian serta

Patiwani ke negeri Wawani, makan-minum, bersuka-sukaan. Dan

yang duduk di Kambelo itu pun menyoron parangnya serta orang

Ternate dan orang Kambelo alah kepada negeri Saluku. Maka ia

pulang serta dengan kemenangnya bersuka-sukaan dalamnya.

Hatta datang musim, maka setengah duduk dan setengah pulang

ke Mangkasar menyampaikan khabar dan minta bantu pula. Hatta

datang musim barat, maka datanglah entah berapa aluwannya.

Tetapi penghulu dalam angkatan itu karaen* Bontomanompo dan

daeng* Bulikan, dan karaen Mampo akan hukum dalam angkatan

itu dan memagang arta raja itu Marala dan karaen Puli dan Malim

dan Besi Lumu*. Lain daripada itu tiada kusebutkan. Hatta datang

ke tanah Ambon, lalu masuk ke tanah Hitu, ia duduk di pantai

Seit. Maka datang kapal Wolanda itu, berlawanlah kedua kaum

itu, pasang-memasang, tembah-menembah. Siang dan malam,

pagi petang pertungguwan tiada berkeputusan. Apabila masuk

matahari, berlakulah kedua pihak itu serta senjata bekilat-bekilat

dan bunyi-bunyian tamburnya dan kucapinya atas kepadanya.

Dan daripada Mangkasar pun demikian juga begendang serta

bunyi-bunyian. Hatta berapa lamanya kapal itu pun belayar, maka

Mangkasar pun menyorongnya menyarang kepada negeri

Hitulama serta dengan kehenda Allah ta`ala alah negeri itu. Maka

orang dalam negeri itu semuhanya masuk ke dalam gudung

Wolanda, maka orang Mangkasar endak masuk rusak kepada

gudung itu. Maka datang orangkaya2 dari negeri Kapahaha dan

negeri Mamala minta maaf kepada Mangkasar dan orang Wawani,

demikian katanya: ‘Kami minta maaf banyak-banyak kepada

penggawa dan panglima sekalian undur juga. Ada pun gudung itu

atas kepada kami, alahkan dia, tetapi anak buah kami itu kami

keluarkan dahulu, kemudian kami rusakkan dia.’ Tellah kata

demikian itu, maka orang Mangkasar dan orang Wawani pun

berhenti, tiada jadi berhenti, tiada jadi masuk kepada gudung itu,

lalu pulang. Hatta datang esok harinya, orang dalam gudung itu

pun keluar dan bantu dari Kota Laha pun datang menolong

kepada gudung itu. Maka orang Kapahaha dan orang Mamala dan

Liyan pun tiada jadi mengrusakkan dia. Itulah tanda orang kibria

dalam dunia tiada mengetahui kehendak Allah ta`ala. Tellah

demikian itu hatta datang berapa antaranya menyorong pula

parangnya ke Tanah Besar. Daripada Anin dan Laala itu pun

demikian juga, karena orangkaya gimelaha tiada sesungguhnya

parang, karena gimelaha Majira serta orang itu dan pun demikian

lagi dengan negeri Anin dan Laala. Maka berangkat serta orang

Kambelo dan orangkaya gimelaha mendatangi di negeri Lesidi. Itu

pun demikian juga sebab orang Kambelo dan Lesidi tiada dengan

sesungguhnya. Maka sesungguhnya. Maka orang Kambelo dan

orangkaya gimelaha serta Mangkasar tiada jadi menyarang

kepada negeri Lesidi, lalu pulang tiada dengan faedahnya. Tatkala

itu karaeng Jipang dan daeng Manggapa keduanya bedagang di

pantai Kambelo, maka ia keduanya bersama-sama serta angkatan

itu menyeberang ke tanah Hitu. Ia duduk di pantai Wawani, lalu

orang Kambelo dan gimelaha bedamai dengan orang Lesidi. Maka

tanah Ambon semuanya mengikut kepada Wolanda, sehingga

negeri Wawani juga berkellahi dengan orang semuhanya itu serta

Wolanda itu. Hatta datang musim karaeng Bontomanompo dan

daeng Bolikan serta kelengkapannya pulang ke Mangkasar

menyampaikan khabar kepada serri sultan Muhammad Sya`id al-

Din, sehingga karaen Jipan* dan Manggapa serta hamba raja

Marala dan Malim menunggu kepada kotanya di pantai Seit. Dan

Wolanda itu pun demikian lagi, menyuruh belayar ke Betawih

membawah khabar kepada jeneral Fandiman*. Hatta datang

musim barat Mangkasar tiada keluar, sebab raja berangkat

menyarang kepada raja Bone. Ada pun kepada Wolanda itu

jeneral keluar dengan angkatannya serta tanah Ambon dengan

angkatan semuanya mendatangi kotanya Mangkasar itu . Serta

dengan kehendak Allah ta`ala alah kota itu. Hatta datang esok

harinya, lalu naik menyarang kepada negeri Wawani, maka orang

Hitu dan Mangkasar keluar mengamu. Serta pahlawan Patiwani

menetah, maka ditangkis oleh Wolanda itu sehingga sedikit juga

putus asfanggarnya* itu. Lalu patah parang Wolanda itu, belarilariyan

membuangkan senjatanya. Maka orang Hitu dan

Mangkasar mendapat tiga puluh pucu esfangar yang tiada berapi.

Lain daripada itu tiada kusubutkan dan orang mati pun entah

berapa banyak tiada kuceriterakan, karena ada mati oleh pedang,

ada mati beddil, ada mati sendirinya, sebab ia terjung dari atas

gunung tiada berketahuan larinya, masing-masing membawah

dirinya. Maka naik kepada angkatannya, lalu pulang ke negerinya

sehingga meninggal tiga buah kapal menunggu kepada pantai

Wawani. Ada pun tatkala parang itu hamba raja Marala dua

bersyaudara mati dan pahlawan Patiwani luka dan imam Sifar ar-

Rijali pun luka pada ketika itu. Maka negeri Wawani pun selamat.

Kemudian daripada itu Seit dan Hahutuna, lima buah negeri,

keluar serta orangkaya Tanihitumesen masuk kepada Wolanda.

Maka ia berbicarai dengan gurendur, lalu bawah kapal belabu di

tanjung Hulu, membuat talangkeranya serta gudungnya di pantai

Hahutuna. Daripada itulah rusak iman orang parang sabil Allah

dan melamahkan hati orang itu, daripada ia katakan kata yang

baik serta membujuk dengan kata yang manis samanya Islam. Itu

orang meruntuhkan agama rasul Allah dan orang itu orang

munafik, karena orang itu dengan Hehalesi mengaku hadapan ke

pantai Hitu dan menyuruh berparang serta Wolanda, karena ia

mengaku di laut atau di darat atas kepada orang itu dengan

Hehalesi. Sebab itulah Kapitan Hitu menengar fitnah daripada

orang itu, maka ia berparang dengan Wolanda. Maka

kuceriterakan pada tatkala itu ada dua orang Kastila lari daripada

orang Wolanda datang ke negeri Wawani,masuk kepada Kapitan

Hitu dan Kapitan Hitu pun percaya kepadanya. Sangkanya bennar

orang lari, tiada mengetahui tipu dayah Kastila itu. Entah berapa

lamanya dalam negeri Wawani dan orang sekalian pun percaya

kepadanya. Hatta datang kepada suatu ketika ia datang kepada

Kapitan Hitu, maka ia berkata:‘Kami endak pergi bermain di

negeri kicil.’ Maka kata Kapitan Hitu: ‘Pergilah engkau.’ Lalu

keduanya berjalan keluar di pantai Seit, maka ia naik ke kapal

kepada Wolanda itu dan apa-apa katanya Kastila itu, maka

turung, lalu naik ke negeri Wawani. Hatta datang tengah malam

ia masuk ke dalam rumah. Tatkala itu Kapitan Hitu pun baringbaring,

lalu tidur sekalih di luar kepada suatu balai. Karena

istiadat Kapitan Hitu, jangankan laki-laki, hamba sahayanya

sekalipun, jika panjangnya lima jengkal tiada boleh masuk ke

dalam rumah. Itulah sendirinya beradu tiada dengan

penunggunya, seorangpun tiada. Ia juga sendirinya, lalu masuk

laknat itu. Maka tikam tigabelas kali serta dengan kehendak Allah

ta`ala tiada makan besi kulitnya, sehingga sekali juga makan besi

butul dadanya. Hatta datang ajal Allah, lalu pulang ke rakhmat

Allah. Inna li-llahi wa-inna ilaihi raji’un. Dan laknat itu lari ke

kapal beritahu kepada kapitan. Maka ia pasan muruyumunya*

semuhanya gennap kapalnya serta gudungnya sekalian, maka

negeri Hitu sekalian pun menjadi daif daripada ia terkuddun ia.

Tellah demikian itu orang Kaitetu pun keluar serta orang Seit dan

Hahutuna masuk kepada orangkaya Tanihitumesen muafakat.

Maka menyuruh naik ke negeri Wawani, menyampaikan kata

orangkaya itu kepada orangkaya Pati Tuban dan pahlawan

Patiwani serta orangkaya sekalian, demikian katanya: ‘Ada pun

Kapitan Hitu sudah pulang ke rakhmat Allah. Bolehkah kita

bertemu dengan orangkaya2? Tetapi kita tiada boleh naik ke

negeri, karena gurendur tiada mau kepada beta naik.’ Maka kata

orangkaya2: ‘Benar kata syaudara kami itu. Apa salahnya?’

Daripada itu ia ingat kepada negeri Hitu serta agama rasul Allah,

maka ia menyuruh datang kepada kami itu, dan kami pun

demikian juga seperti kata orangkaya itu, tiada boleh naik ke

negeri.’ ‘Benar juga kata orang itu, karena orangkaya dalam

maklum Wolanda itu. Kami pun demikian lagi endah bertemu

dengan orangkaya juga, tetapi kami tiada boleh keluar sebab

orangkaya serta Wolanda.’ Maka suruwan itu pulang beritahu

kepadanya. Maka menyuruh pula berulang-ulang dengan kata

yang baik dan manis, karena piliyan kata yang benar, maka

dikatakan serta dengan empena menjadi jina. Lalu katanya

demikian: ‘Orang kaya2-pun tiada boleh keluar, karena kita

bersama-sama dengan Wolanda. Kita pun tiada boleh naik ke

negeri, karena gurendur tiada mau. Baiklah kita sama bertemu di

luar negeri, supaya kita muafakat mana yang baik itu maka kita

kerjakan. Karena negeri semuanya sudah keluar akan katanya

kepada gurendur; tetapi gurendur tiada percaya karena negeri

sekalian itu mengikut kepada dia. Seperkara lagi, tiada perna ekor

dahulu maka kepala mengikut, melainkan dahulu juga kepala,

maka ekor mengikut. Daripada itulah kita menyuruh datang

kepada orangkaya2 itu serta dengan angkunya. Apabila berbuatan

atau tipu yang jahat bukanlah perbuatan Wolanda, kita empunya

perbuatan itu.’ Maka orang sekalian percaya, sangkanya kata

yang baik, lalu keluar orangkaya2 serta orang banyak mengikut

kepada suruwan itu, sehingga datang kepada suatu padang di tepi

sungai. Maka kata orang Seit dan Hahutuna: ‘Tuanku lalu ke pasar

Lebelehu, karena orangkaya serta orang banyak ada di sana.’ Ia

menanti, lalu pergi ke sana. Hatta datang di sana bertemu dengan

orangkaya serta orang banyak itu. Matahari pun masuk, maka

kata orangkaya dan orang banyak: ‘Ada pun kita ada bicara

sekarang ini, orangkaya2 dari Hila dan dari Mamala dan dari

Kapahaha bulum lagi datang. Baiklah orangkaya2 berhenti. Esok

harinya ia datang, maka muafakat semuanya dahulu. Kemudian

maka kita kira-kira apabila baik kita masuk kepadanya; jika tiada

baik menyuruh panggil kepadanya bicara di luar.’ Maka kata

orangkaya2 Wawani: ‘Jika bagai kata demikian itu, baiklah kami

pulang dahulu. Esok harinya maka kami datang.’ Maka kata

orangkaya dan orang Seit, Hahutuna: ‘Mengapa maka pulang lagi?

Jika begitu tiadalah percaya kepada kami semuanya ini.’ Karena

orangkaya sudah mengaku di hadapan orang semuanya kepada

barang perbuatan yang jahat itu, maka orangkaya2 serta orang

sekalian pun percayalah, sangkanya kata yang benar. Maka ia

berenti di sana, lalu orang Seit dan Hahutuna pulang ke

negerinya, beritahu kepada letnante dan menyuruh antan-antun

dua orang, seorang Goron* dan seorang Tapihuwat namanya,

keduanya naik ke kapal beritahu kepada kapitan gurendur,

Demer* namanya, membilang nama orang yang datang itu dan

nama panglima serta pendagarnya semuanya yang datang itu.

Dan apa-apa kehendaknya itu semuanya dikatakannya kepada

Wolanda. Lalu turun Kompenyi*, naik kepada tengah malam itu

menyarang kepada negeri Wawani. Serta kehendak Allah ta`ala

alah negeri Wawani dan orang dalam negeri itu pun cerai-berai,

masuk dalam hutan dan orangkaya yang keluar itu pun tiada

boleh masuk ke negeri lagi, lalu berjalan di luar masuk utan. Maka

ia bertemu sekalian rakyatnya dan karaen Jipan* dan daen

Manggapa serta rakyatnya dan kiyaicili La Manimpa ibn sipati* di

Buton. Maka semuanya bejalan masuk ke negeri Nukuhali dan

negeri itu pun tiada boleh terima kepadanya. Maka berjalan pula

ke negeri Tehala dan negeri Tehala pun demikian juga tiada dapat

terima, lalu keluar masuk utan, terbit pandang*, naik bukit, turun

bukit dan berapa padang ia berjalan. Entah berapa lamanya dalam

hutan itu sebagai juga sehingga datang ke hulu sungai, Wai Luyi*

namanya sungai itu, maka berentilah di sana. Entah berapa

dalamnya, paduka kiyaicili Laksamana pun sakit lalu mati . Tellah

dipeliharakan paduka kiyaicili itu, maka semuanya muafakat: ‘Apa

tipu kita? Apabila kita dalam hutan juga tiada tahan lagi rakyat

kita ini . Jika kita endah masuk kepada suatu negeri, semuanya

mengikut kepada Wolanda. Baiklah kita menyuruh kepada suatu

negeri, supaya kita dengngar kehendak itu, mauka atau tiadaka,

kemudian kira-kirakan kehendak kita.’ Lalu menyuruh ke negeri

Kapahaha: ‘Boleh kami masuk atau tiadakah?’ Karena tatkala itu

negeri Kapahaha pun bedamai dengan Wolanda, maka kata

orangkaya Tubanbesi: ‘Boleh juga, tetapi sabbar dahulu supaya

kami kira-kira serta orangkaya2 semuanya.’ Tellah demikian itu

entah apa-apa kehendaknya sekalian orangkaya itu, lalu ia datang

sendirinya membawah kepada orang yang tiada dapat berjalan

itu,dijalankan di laut dan orang Hitu dan setengah orang

Mangkasar serta daen Manggapa berjalan di darat. Hatta datang

ke pantai Kapahaha, maka didiamkan kepada suatu dusun, Alitan

namanya. Di sanalah ia duduk menanti kepada orang banyak lagi

dalam hutan itu. Apabila datang semuanya kemudian, maka kirakirakan

kepada kedudukan, karena panglima Patiwani dan imam

Sifar ar-Rijali dan pati Larutu bersama-sama karaen Jipan* serta

Mangkasar yang banyak itu lagi dalam hutan. Demikian kehendak

orang itu:’Apabila kita sekalian ini masuk ke dalam negeri,

sukarlah kepada hidupan kita. Baiklah kita di sini supaya kita pun

dapat makanan. Orang dalam negeri itu pun kita antar akan dia.’

Itullah kehendaknya orang itu. Ada pun tatkala ia dalam hutan itu

sekalian negeri itu tiada boleh masuk dalam hutan. Daripada

itulah kubunnya dengan tanamannya semuanya kepada orang itu

mengambil dia. Hatta berapa lamanya dalam hutan itu, maka

datang Wolanda itu mencari dia. Maka bertemu kepada suatu

padang, lalu berparang kedua pihak itu. Hatta seketika juga undur

Wolanda itu pulang ke gudangnya dan karaen Jipan* pun

meninggalkan Mangkasar setengah serta Kartulesi menanti

kepada suatu dusun. Ia membawah setengah serta Patiwani dan

Sifar ar-Rijali masuk ke negeri Kapahaha. Maka diberikan dua

buah perau, lalu ia belayar pulang ke Mangkasar. Maka menyuruh

mengambil perau kepada Kartulesi serta orang yang tinggal

dalam hutan itu. Maka datang pula Wolanda itu serta orang Hitu

yang mengikut kepada Wolanda itu, maka berparanglah tiga kaum

itu dalam hutan di sana. Hatta seketika juga dengan kehendak

Allah ta`ala tetanam kaki Kartulesi ke dalam lumpur, tiada boleh

bergerak lagi serta dengan ajal Allah lalu ia syahid. Apabila ia

mati maka orang banyak itu masing-masing lari membawah

dirinya. Tiada berketahuan larinya, ada mati dalam hutan, ada

masuk ke Hitulama, ada masuk ke Hila, ada masuk ke negeri kicil,

ada masuk kepada Wolanda itu, ada masuk ke negeri Kapahaha.

Maka kata orangkaya: ‘Apa tipu kita? Karena kita sudah bedamai

dengan dia. Baiklah kita pergi kepadanya minta ampun.’ Lalu

orangkaya-kaya masuk pada gurendur serta membawah tiga ribu

real akan pembeli siri pinang, supaya kami minta minta ampun.

Maka gurendur itu real itu pun diterima dan kepada orang itu

tiada diampunkan. Lalu keluarkan angkatan serta tanah Ambon

semuanya datang ke pantai Mamala. Maka menyuruh panggil

kepada negeri semuanya, demikian kata: ‘Baik siap-siap negeri,

jika tiada ia keluar serta aku, ialah akan musuhku.’ Hatta

didengar kata gurendur demikian itu dan negeri semuanya keluar

serta gurendur itu, sehingga negeri Kapahaha juga tiada keluar.

Maka Wolanda itu dilabukan kapalanya genap tanjung dan labuan

Kapahaha serta mendirikan talankeranya* di pantai itu, lalu

menembang cengkeh serta kayu yang dimakan buah2-nya. Maka

hulubalang negeri Kapahaha, Umarela namanya, ialah rasamu*

kepada orang mudah-mudah dalam negeri Kapahaha pada tatkala

itu, maka ialah keluar merompa pada orang Nasrani itu. Empat

orang ditindisnya di adapan Wolanda itu, lalu ia pulang dengan

kemenangnya, bersuka-sukaannya, makan-minum serta bunyibunyian

dalam negeri Kapahaha. Dan Wolanda itu pun demikian

lagi, sama gagahnya . Maka kedua pihak itu tiada berputusan

berparang siang malam pagi petang, sentiasa kedua kaum itu

sebagai juga. Apabila kepada pihak Islam itu ia keluar mengambil

makanan,tiada ia pulang kepada siang hari, melainkan petang

malam, maka ia pulang dan Wolanda itu pun apabila petang

malam, ia datang mengadap di pantai di mana datang orang itu .

Hatta sama bertemu kedua pihak itu, perparanglah kedua kaum

itu, sentiasa tiada bertinggalan lagi. Apabila petang, malam atau

siang hari, maka keluar orang dari negeri Kapahaha, ia mengadap

di luar talankeranya Wolanda itu dan Wolanda itu pun mengawal.

Maka sama bertemu keduanya lalu berparanglah kedua kaum itu,

pasang-memasang, tatuk-menatak sebagai juga tiada berhenti

lagi. Sama gagahnya dua

pihak itu. Alah mennang daripada kapitannya yang gagah itu

seperti letnante dan alferes* dan sarento* serta kapitan Merlaka*

ia sangat keras mengasakan soldadu kepada parang. Dan

demikian lagi daripada pihak Islam, panglimanya dan

pendagarnya serta pahlawan Patiwani ialah sangat mengasakan

orang mudah2 kepada parang sabil Allah.Maka sama gagah kedua

pihak itu, alah menang Islam pun tiada mau kepada Nasrani dan

orang Nasrani pun tiada mau kepada Islam,samalah kedua kaum

itu. Hatta berapa dalamnya serta dengan kehendaknya Allah

ta`ala pahlawan Patiwani ia naik kepada sebuah perau

menyeberang ke sebelah Tanah Besar, maka ia masuk ke dalam

sungai Wai Liyi*. Entah berapa hari dalamnya, maka datang

sebuah perau Wolanda itu dari pantai Lumakai*. Maka ia

keluar,melawanlah keduanya pasang-memasang, tembahmenembah.

Hatta seketika lagi ia memandang ke kiri dan ke

kanan dan ke aluan dan ke buritan, maka dilihatnya jurumudi

putus tangannya sebelah dan mati. Hatib Lukula dari Mamala

tangannya satu bengko dan orang luka pun banyak, maka ia

memarintah kepada orang semuanya, lalu langgar kepada

Wolanda itu. Apabila sudah langgar, maka ia mengunus

syamsyirnya serta melompat naik ke atas kelengkapan Wolanda

itu. Hatta dengan ajal Allah syahidlah ia dalam perau Wolanda itu.

Maka huru-gara majnun pandang kepada johan Patiwani ia dalam

kelengkapan Wolanda itu. Lalu ia menyerbukan dirinya kepada

Wolanda itu, serta menatak sekali juga kennah dua orang.

Seorang itu sehingga sedikit juga putus kedua penggal, ialah

kapitannya dan seorang lagi putus sebelah tangannya ada di jalan

lagi. Maka ditembah oleh Wolanda itu dua lukanya, satu kennah

pahanya dan satu lagi kenah bibirnya,maka jatuh ke air masing,

lalu naik kepada peraunya. Maka datang mengambil kepada johan

pahlawan Pati[wani], maka kedua kaum itu berhanyutan juga

tiada boleh penggayu lagi, karena keduanya sama lellah leti.

Hatta demikian itu, maka kata johan pahlawan Patiwani: ‘Hai

syaudahraku sekallian, kami sudah belakankan dunia, tetapi

menyampaikan salamku kepada orangkaya Tupanbesi serta

orangkaya2 sekallian. Tellah sudah kesudahan kami, tetapi baikbaik

bicara tuan-tuan semuanya, jangan disamakan kita di

belakang tuan-tuan itu.’ Lalu ia mati, maka dibawah pulang

maitnya itu datang ke negeri Kapahaha dan dipeliharakan serta

diadatkan sehingga seratus . harinya . Itulah kesudahan hidupan

pahlawan Patiwani dalam tanah Hitu. Apabila suda ia mati, maka

dibelakannya johan itu dan negeri semuanya pun berpalinglah

kepada Wolanda itu. Jadi kuranglah kuat negeri Kapahaha, karena

ia satu negeri juga tiga ratus orang memagang senjata

berparanglah dengan negeri sekalian. Itulah hal negeri Kapahaha

parang sabil Allah. Tellah demikian sekali perastawa gurendur

sendirinya membawah angkatan endah menyerang kepada negeri

Kapahaha. Maka ia naik ke atas bukit antara gunung Hantu* dan

negeri Kapahaha. Maka ia pasang bedil ditembah ke dalam negeri

dan negeri pun menembah kepadanya. Maka kedua kaum itu

melawanlah, pasang-memasang daripada waktu subuh sehingga

datang kepada bakda magrib. Daripada belum dengan ajal Allah

kepada negeri Kapahaha ia lari sendirinya membuangkan

senjatanya. Entah berapa matinya tiada ditentu dalamnya, karena

sekali menembah tujuh orang dikenanya. Itulah Allah dan nabi

Muhammad juga yang mengetahui. Segali lagi ia berjalan dari

bukit Iyaluli* endah mendatangi negeri Kapahaha. Sehingga

tengah jalan, maka ia lari sendirinya membuang senjatanya. Lain

daripada itu tiada dapat kuceriterakan. Ada mennang, ada alah,

itulah hal parang kedua kaum. Segali perastawa orangkaya Pati

Tupan dan Tulesi adindah orangkaya Tubanbesi bawah dua perau

ke Tanah Besar. Maka ia pulang bertemu dua buah fergat*, maka

melawanlah keduanya. Hatta seketika lagi orangkaya Patti

[Tuban] pun luka dan Tullesi pun kuka* Lain daripada itu tiada

kusebutkan. Maka didapatnya sebuah perau. Pada ketika itu

mennang Wolanda itu kepada Islam dan kuceriterakan,ada pun

tatkala itu orangkaya2 tanah Ambon, Ulilima dan Ulisiwa, Islam

dan Nasrani, serta orangkaya gimelaha datang suruh minta

bedamai. Maka negeri tiada mau bedamai, karena musuh

semuanya yang datang suruh minta bedamai, melainkan menanti

titah paduka seri sultan dari Maluku. Hatta datang musim utusan

pun datang dari Ternate, lalu masuk ke Kota Laha pada gurendur.

Maka menyuruh panggil kepada orangkaya2 negeri Kapahaha,

maka orangkaya2 serta orang banyak datang kepada utusan dan

gurendur. Maka kata utusan dan gurendur: ‘Pulanglah

orangkaya2, panggil kepada orangkaya Tubanbesi dan

orangkaya2 yang tuah-tuah datang ke mari, supaya ia dengar

kepada titah yang dipetuan.’ Apabila orangkaya2 itu pulang

sehingga tengah jalan, maka bertemu orang datang membawah

khabar, demikian katanya: ‘Ada pun orangkaya2 yang di belakan

mengikut tuan-tuan itu dipagang oleh letnante, dimasukkan ke

dalam talankeranya.’ Lalu orangkaya2 itu masuk hutan mencari

jalan yang lain. Sebab itulah maka tiada jadi bedamai. Lalu

orangkaya-kaya menyuruh menyampaikan ke bawah dulli yang

dipetuhan serta tanya sepata kata, demikian katanya: ‘Betapa hal

kami ini? Karena tanah Ambon negeri sekalian serta dengan

Wolanda, sehingga kami sebuah negeri juga berparang dengan

Wolanda itu. Mana kehendak seri sultan, baik berkellahi atau

bedamai, supaya kami dengar dan mengetahui kehendak titah itu

pun.’ Tiada juga datang titah, hatta berapa dalamnya gimelaha

pun datang dari Ternate,maka orangkaya Kapahaha menyuruh

tanya kepada orangkaya gimelaha. Hatta datang suruwan itu,

apa-apa sebabnya, lalu menyuruh bunuh kepada suruwan itu.

Maka didengar oleh orangkaya-kaya dalam negeri Kapahaha

terlalu khairan ajaib sekali kepada perbuatan gimelaha itu. Maka

kata orangkaya-kaya: ‘Ada pun harap kita kepada perjanjian serri

sultan tatkala dipersekalikan kalam Allah di negeri Hitu. Itu pun

tiada juga datang titah, apatah daya untung kita? Tellah demikian

itu datang titah, apatah daya untung kita?’ Tellah demikian itu

datang bala Allah, penyakitan dalam negeri serta kekurangan

makanan, karena negeri sekalian menjadi musuh, berparanglah

dengan negeri Kapahaha. Jangankan negeri lain tiada dapat

dikatakan negeri Hitu sendirinya pun akan musuhnya.

Demikianlah hal negeri Kapahaha. Hatta demikian itu dengan

kehendak Tuan Yang Mahatinggi seorang dagang ia lari masuk

kepada Wolanda. Maka ia menunjukkan jalan kepada Wolanda itu,

naik tengah malam serta dengan kehendak Allah ta`ala lalu alah

negeri. Maka orang semuanya itu cerrai-berrai masing-masing

membawah dirinya. Ada mati di tengah jalan, ada mati di bawah

pohon kayu, tiada dapat berjalan lagi, sebab ia kalaparang. Ada

masuk ke dalam hutan, ada masuk ke dalam guwah batu. Barang

apa didapatnya, di situlah ia diam, lalu mati kepada tempatnya.

Dan setengah masuk ke negeri Mamala dan setengah masuk ke

negeri Hitulama dan setengah masuk ke Hila. Ada masuk negeri

Tiyal dan orangkaya Pati Tuban ia masuk ke negeri Wai. Maka

semuanya itu diberikan kepada gurendur itu dan orangkaya

Tubanbesi ia membawah sebuah perau sudah keluar sehingga

pantai Hatuhaha. Maka menyuruh dua orang naik ke negeri,

demikian katanya: ‘Dapatkah orangkaya2 menyuruh seorang atau

dua orang turun kepada orangkaya Tubanbesi atau tiadakah?’

Hatta didengar kata demikian itu, lalu dipagang kepada dua orang

itu dan menyuruh turun endah dipegang kepada orangkaya

Tubanbesi.Tetapi belum lagi untungnya di situ, maka ia lepas, lalu

pulang ke negeri Hitu. Maka orang Hitu bawah orangkaya dua

beranak kepada Wolanda itu. Maka dibunuhlah kepada orangkaya

dan dinaikan kepada orangkaya Pati Tupan dan orangkaya

Beraim-ela dan Tulesi dan Alam dan Teyaka* serta anak

orangkaya Tubanbesi dua bersyaudarah, seorang Duljalal dan

Pilakan* namanya kanak-kanak itu dan anak orangkaya Kapitan

Hitu dua bersyaudara, seorang Wangsa namanya dan seorang

Petinggi namanya kanak-kanak itu, naik kepada kapal, bawah ke

Betawih. Dan kuceriterakan Sifari'l-jalih. Dan tiada kuceriterakan

kesukarangnya serta kejahatannya yang dicellai orang itu,

sehingga kunyatakan tatkala ia keluar itu masuk hutan, terbit

padang dan naik bukit, turun bukit. Maka ia hendak masuk ke

negeri Mamala, tetapi kiranya orang Mamala pun tiada boleh

diterima kepadanya, maka ia tiada jadi masuk ke Mamala lagi, lalu

ia keluar pergi ke dalam hutan. Apabila terbit fajar ia keluar di

pantai basambuni, karena kepada siang hari itu ada orang masuk

mencari dalam hutan. Sebab itulah ia keluar basambuni dakat

pantai. Hatta matahari masuk, maka ia pun keluar pergi berjalan

ke dalam hutan, terbit padang. Maka ia bertemu seorang antanantan

orangkaya Pati Tuban, Sarasara Tahakehena namanya, lalu

keduanya pergi berjalan. Entah berapa jauhnya, maka ia dengar

bunyi anjing dalam hutan. Seketika juga datang anjing serta

tuannya Wolanda itu datang. Daripada belum lagi sampai ajal

Sifarijali keduanya Sarasara Tahakehena, maka anjing itu diyam

dan Wolanda itu pun tiada berkata-berkata. Sama pandangmemandang,

lalu berjalan keduanya. Entah berapa jauhnya

berdapat pula dengan musuh, maka ia bersembuni, maka musuh

itu pun tiada melihat kepadanya. Lalu pergi masuk ke hutan

sehingga datang kepada suatu padang. Maka ia berhenti di

sana,berlindung di dalam alang-alang, lalu menyuruh kepada

Sarasara Tahakehena masu ke dalam negeri Hila, tanya kepada

seorang anak syaudagar yang besar [penggawa] lagi dermawang

pun artawan, ialah menjadi imam dalam negeri itu: ‘Dapatkah

Sifarijali masuk ke negeri atau tiada dapat?’ Maka Tahakehena

pun lasap sekali-sekali, tiada pulang lagi; maka tefakur Sifarijali

dalam cintanya serta berkata: ‘Ajaib sekali akan Tahakehena

pergi berdapat segera datang hendaknya hidup lasap sekalisekali.’

Telah demikian, maka ia menanti. Hatta masuk matahari,

ia pun masuk ke negeri berhadapan dengan imam itu, maka ia

datang beri bakal dan makanan. Seketika lagi datang Telesima

dan Abubakar serta kanak-kanak, anak orangkaya Kapitan Hitu,

Patinggi namanya, didukun oleh inang pengasuhnya, si Papua

namanya. Maka kata Sifarijali:‘Apa tipu kita kepada kanak-kanak

ini, bawahkah atau tinggalkah?’ Maka kata syaudaranya:

Kedudukannya baik juga kita bawah, tetapi jika datang ke hutan

maka kennah hujang dan angin ia tiada boleh tahan. Baik kita

tinggalkan dia supaya ia keluar ke negeri.’ Maka kata imam Rijali:

Apa dayah?’ Lalu dipuluh* dan dicium kepada kanak-kanak itu,

maka ia diketinggalkannya, pergi berjalan ke hutan ia duduk

kepada suatu bukit. Apabila masuk matahari, ia keluar berjalan

menapi pantai. Hatta terbit fajar masuk ke hutan ia berhenti,

tiada boleh berjalan kepada siang hari. Sehingga datang ke negeri

Seit dan Hahutuna, seorangpun tiada terima kepadanya dan dia

pun sembuni tiada mau menunjukkan dirinya kepada orang itu.

Maka ia menyuruh pergi kepada Hehalesi. Maka ia terima kepada

dia orang, lalu dibawah dari negeri ke dalam hutan, ia duduk

kepada suatu bukit. Hatta berapa dalamnya maka mengambil

sebuah perau, maka keempatnya menyeberang ke Tanah Besar,

sehingga datang ke tanjung Sial. Maka ia bertemu Sakia dari

Waibuti mengambil ikan. Maka ia bertanya kepada Sakia itu,

demikian katanya: ‘Dapat kami naik ke negeri atau tiadakah?’

Maka ia menyahut: ‘Orang itu tiada boleh.’ Lalu ia ke tanah

Kelang, karena pada ketika itu orangkaya gimelaha Daga dengan

kiyaicili [Besi]mulu serta orang Kelan* endah berkelahi dengan

Wolanda itu. Sebab itulah, maka ia datang ke sana bersama-sama

orangkaya Daga dan kiyaicili. Hatta berapa lamanya, maka datang

perdana gimelaha serta orangkaya-kaya Ulilima dan Ulisiwa

datang membawah titah seri sultan Hamza, lalu ia keluar bedamai

dengan gurendur itu. Lalu dipindakan pulang ke negeri Luhu dan

pati Kambelo pun bawah kepada Abubakar. Tinggal lagi tiga orang

juga, daripada itulah Sifarijali terlalu ajaib. Tiada dapat

kuceriterakan dukkacittanya, sehingga itulah menanti kepada

Tuhan Yang Mahasuci. Hatta dengan kehenda Allah ta`ala datang

gimelaha Hasi dari Luhu endah pulang ke Buru. Maka Sifarijali

minta sebuah perau daripada orang Kelan*, lalu mengikut

orangkaya itu ke tanah Buru, duduk di negeri Lesiela bersamasama

orangkaya gimelaha. Entah berapa lamanya, maka datang

gulawarganya, Pati Laik namanya, serta Ulu Ahutan membawah

sebuah perau cari kepadanya. Maka bertemulah sama berhadapan

bertanya-tanyakan hal-ahwal tanah Hitu dengan Wolanda itu,

maka semuanya diceriterakan oleh syaudaranya itu. Maka

didengar oleh Sifarijali itu, makin bertambah kedukaannya. Maka

[kata] orang semuanya: ‘Apatah daya kehenda Allah ta`ala? Baik

membuang diri kita tanah lain, supaya kita jangan melihat dan

menengar tanah kita lagi.’ Lalu memohon kepada orangkaya

gimelaha dan kipati. Maka ia belayar ke laut tiga hari datang ke

tanah Bone, maka datang orang Bone tanya kepadanya: ‘Orang

mana?’ Maka menyahut: ‘Kami orang Ambon.’ ‘Endah ke mana?’

Kami endah ke Mangkasar, tetapi kami kurang air dan bakal.

Jikalau ada makanan, bawahlah kemari kami beli.’ Maka kata

orang itu: ‘Nantilah di sini, esok hari kami bawah makanan ke

mari, maka ia beli.’ Maka Sifarijali pun menanti. Hatta datang pagi

hari orang itu pun datang serta senjata. Ia basembuni dalam

hutan, maka menyuruh entah berapa orang, ia keluar memanggil

kepada orang dalam perau itu, demikian katanya: ‘Marilah turun

beli makanan itu.’ Karena ia takut tiada mau naik ke perau, maka

ia pun tiada mau turun ke darat, lalu keluar belayar. Itulah

daripada belum dengan kehendak Allah ta`ala. Maka tiada lagi

bakal orang itu, sehingga karan-karan serta daun meninjau

selamanya pergi itu. Hatta datang ke tanah Buton, maka bertemu

kepada karaen Rajipan. Maka diberinya makanan serta kain

bajunya, lalu masuk mengadap kepada raja. Tatkala itu raja La

Mibilu* akan kerajaan tanah Buton. Maka datang titah kepada

bonto* dan biduwandi*: ‘Tanya olemu kepada orang itu endah ke

mana perginya dan apa kehendaknya datang ini?’ Maka menyahut

Sifarijali. Segala hal-ahwalnya itu semuanya diceriterakan kepada

biduwandi* itu, maka ia menyampaikan ke bawah dulli yang

kerajaan. Telah demikian itu ia memohon, lalu pulang ke

peraunya. Hatta datang esok harinya datang pengalas serta

antun-antun membawah titah menunjukkan kampung serta

rumah. Maka menyahut Sifarijali: ‘Ada pun titah kepada dagang

piatu itu, maka dagang piatu pun terima serta junjung kepada

kehenda titah itu, tetapi minta ampun kepada piatu yang hina

karan, belum lagi sampai pada ... itu.’ Maka ia pulang

menyampaikan ke bawah dulli, lalu menyuruh memberi bakalnya.

Maka karaen Rajipan menyuruh sebuah perau bawa kepada dia

dahulu ke negeri dan karaen Rajipan lagi duduk di Buton. Pada

dewasa itu seri sultan paduka Dipatingalowan* ia memerintahkan

tanah Mangkasar dan demikian serri sultan Muhammad Sya`id

akan kerajaan, sultan al-islam, zill al-nabi fi dar al-mu’min. Maka

Sifarijali ia masuk mengadap serta menyampaikan hal-ahwalnya

ke bawah dulli seri sultan. Maka titah paduka Dipatingalowan*:

Lamun jika tida kuterima kepada halmu ini, tiada seperti sabda

nabi kepada kita ummatnya: “Wa-'l muslimin ikhwan”.’ Lalu

syahbandar memberi tempat kedudukannya, ia senang dirinya.

Daripada itulah meninggal negeri mencari sennang daripada ia

takut akan Wolanda itu. Maka ia masuk hutan, terbit padang,

menapi tasik, menyeberang laut, sehingga datang ke tanah

Mangkasar. Itulah halnya orang mendapat kediaman dirinya.

Itulah kesudahan hikayat ini. Tamat sah ya sah. Wa-'s-salam bikhair

amin.